SumatraLink.id, Lampung – Sejumlah petani penggarap lahan terbengkalai di Komplek Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, Kotabaru, Kabupaten Lampung Selatan, mengeluhkan pungutan uang sewa. Uang sewa Rp 300.000 per meter atau Rp 3 juta per hektare dinilai sangat memberatkan petani.
Menurut Ahmad (33 tahun), petani singkong di lahan kosong terbengkalai depan Kantor Gubernur Lampung, sebenarnya pemerintah daerah berterima kasih masih ada warga yang mau memanfaatkan lahan kosong yang tidak terurus sejak mangkraknya pembangunan komplek Pemprov Lampung di Kotabaru.
“Kalau tidak digarap petani, bisa dibayangkan jadi hutan belantara lokasi ini. Soalnya tidak ada lagi kelanjutan pembangunan Kotabaru ini bertahun-tahun,” kata Ahmad saat ditemui di lahan kebun singkongnya, pekan lalu.
Dia mengatakan, sejak lahan tersebut kosong karena berhenti pembangunan komplek Pemprov Lampung, warga berinisiatif memanfaatkan lahan kosong untuk menanam singkong, jagung, dan tanaman lainnya. Namun, setelah berlalu, Pemprov Lampung mau mengambil uang sewa kepada petani.
Di lahan “tidur” tersebut, Ahmad menggarap dua hektare untuk tanaman singkongnya. Lahan tersebut ia kelola dengan mengeluarkan modal mulai dari pengolahan lahan, bibit, dan pupuk, serta biaya pemeliharaan hingga beberapa bulan sampai panen.
Memasuki waktu panen, Ahmad harus mengupah beberapa pekerja untuk memanen singkongnya lalu diangkut ke mobil untuk dijual ke pabrik pengolaha tapioka di daerah lain.
“Semua itu harus mengeluarkan biaya tidak kecil. Nah, sekarang pemprov mengambil sewa lahan yang sangat mahal Rp 3 juta per hektare,” kata Ahmad.
Menurut dia, lahan yang digarapnya saat ini, bekas lahan orang tuanya yag dijual kepada pemerintah untuk Pembangunan Kotabaru Lampung. “Memang sebelumnya lahan ini milik rakyat, karena ada pembangunan dijual ke pemerintah. Sekarang bangunannya mangkrak terbengkalai,” kata Ahmad, yang juga lulusan seorang sarjana.
Kota Baru bagian proyek strategis Gubernur Sjachroedin ZP saat menjabat gubernur untuk kedua kalinya periode 2009-2014. Lahan hasil tukar guling (alih fungsi lahan) dengan PTPN VII seluas 1.669 ha tersebut dari kebun karet dan sawit akan disulap jadi kompleks Pemprov Lampung, kantor muspida, sarana pendidikan dan kesehatan, serta sosial.
Ide dan tujuan pemindahan kantor Pemprov Lampung dari Telukbetung, Bandar Lampung ke Kota Baru, Lampung Selatan, untuk mengantisipasi kepadatan penduduk, kemacetan arus lalu lintas, dan pengembangan wilayah sebagai penyanggah ibu kota provinsi, seperti kawasan Jabodetabek.
Gedung bakal Kantor Gubernur Lampung yang sudah selesai pembangunannya terbengkalai setelah dibangun sejak 27 Juni 2010. Kaca-kaca dan asbes palfon pecah, tangga kantor dari stainless hilang. Lahan sekitar kantor ditumbuhi tanaman liar. Kantor ini tempat bermain dan nongkrong pendatang, terkadang jadi sarang maksiat.
Di Komplek Pemprov Lampung ini, juga ada bangunan gedung DPRD, masjid, dan rumah adat. Ketiga bangunannya mangkrak. Lahannya tumbuh padang ilalang dan tanaman liar lainnya. Kondisi kawasan tersebut menjadi seram setelah terhenti proyek pembangunan Kotabaru yang telah menghabiskan uang rakyat Rp 300 miliar lebih.
Menurut Ahmad,kawasan Kota Baru ini seperti kota mati setelah ditinggal Gubernur Sjachroedin ZP. Dua gubernur penggantinya M Ridho Ficardo dan Arinal Djunaidi selama 10 tahun terakhir terbengkalai, tidak dilanjutkan lagi proyek Kotabaru.
Padahal, program tersebut telah termaktub pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung, dan Perda Nomor 3 tahun 2013 tentang Pembangunan Kota Baru.
Luas lahan Kota Baru Lampung 1.669 ha, terdiri dari 350 ha untuk pusat pemerintahan dan 1.319 ha untuk lahan komersial. Pembukaan jalan menuju kawasan sepanjang 3,5 KM terbentang dengan alokasi anggaran land clearing Rp 18,9 miliar. Saat ini, kondisi jalan beberapa titik rusak berat dan pernah dikunjungi Presiden Jokowi pada 5 Mei 2023.
Sejumlah petani penggarap lahan terbengkalai kawasan perkantoran Pemprov Lampung di Kota Baru, Kabupaten Lampung Selatan, pernah mendatangi DPRD Lampung lagi pada Rabu (10/1/2024). Mereka menolak adanya sewa lahan yang pernah digarap sebelumnya oleh petani.
Kedatangan para petani penggarap lahan kota baru meminta DPRD Lampung meniadakan sewa lahan kepada petani yang berkisar Rp 300.000 per meter atau Rp 3 juta per ha. Penetapan sewa lahan kepada petani penggarap tersebut berdasarkan SK Gubernur Lampung Nomor G/293/VI.02/HK/2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kota Baru yang Belum Dipergunakan untuk Kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung.
“Kami datang lagi ke sini (DPRD Lampung), karena tidak ada solusinya. Padahal, pembangunan Kota Baru saat ini terhenti total, tapi kami menggarap diambil sewa lahan,” kata Yono, perwakilan petani penggarap lahan Kota Baru Lampung.
Menurut dia, aksi petani penggarap sudah dilakukan sejak tahun 2022 sampai tahun 2024 ini, yang tuntutannya agar sewa ditiadakan, namun tidak ada realisasi dari Pemprov dan DPRD Lampung.
Dia mengatakan, petani sekitar lahan diizinkan menggarap lahan di sekitar pembangunan komplek Perkantoran Pemprov Lampung yang sudah mangkrak pada tahun 2014. Petani menanam palawija, seperti singkong, cabai, dan lainnya. Setelah berjalan, lanjut dia, petani diambil sewa, padahal pembangunan gedung kantor mangkrak.
Petani penggarap lainnya, menolak sewa lahan Kota Baru sebesar Rp 300.000 per meter atau Rp 3 juta per ha. Bahkan, petani yang tidak membayar sewa lahan diancam dan diintimidasi agar membayar sewa oleh satgas yang dibentuk di sekitar lahan tersebut.
Sebelumnya, Kabid Aset pada Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Provinsi Lampung Mediandra pernah mengatakan, masyarakat harus ikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dia mengatakan, masyarakat yang belum bayar sewa tidak diperbolehkan menggarap lahan Kota Baru. Masyarakat bisa menggarap lahan Kota Baru sepanjang belum dimanfaatkan oleh Pemprov Lampung. Akan tetapi masyarakat harus ikuti ketentuan yang berlaku.
Petani menggarap lahan Kota Baru berada di Desa Sindang Anom, Gedung Agung, Sinar Rezeki, Purwotani, Margodadi, Sidodadi Asri, Margorejo, Sumber Jaya dan Margo Mulyo. Lahan yang sudah disewa sekitar 230 ha, dan yang belum digarap sekitar 800 ha. Hasil sewa lahan masuk PAD Pemprov Lampung mencapai Rp 690 juta. (Mursalin Yasland)