REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Bali meluruskan kesalahpahaman soal program sertifikasi halal bagi pelaku usaha skala besar, UMKM, hingga pedagang kaki lima. Pelaku kuliner nonhalal disebut tidak perlu mengkhawatirkan peraturan yang belum lama diumumkan itu.
"Tidak perlu khawatir karena memang kuliner nonhalal tidak termasuk dalam program sertifikasi halal," kata Kepala Bimas Islam Kanwil Kemenag Bali Abu Siri kepada Antara di Denpasar, Sabtu (3/1/2024).
Abu Siri menjelaskan bahwa program sertifikasi halal yang ditargetkan Kemenag rampung didaftarkan oleh seluruh UMKM hingga pedagang kaki lima paling akhir pada 17 Oktober 2024 bukan untuk usaha nonhalal. Sebagai informasi, Bali terkenal dengan adat, budaya, tradisi, dan kearifan lokal masyarakatnya, terutama mayoritas umat Hindu.
Dalam upacara persembahan sering kali masyarakat menggunakan hewan, contohnya babi yang kemudian dikonsumsi. Babi juga umum dijual para pengusaha kuliner karena sudah menjadi kearifan lokal.
Abu Siri menyerukan agar kebijakan Kemenag ini tidak disalahartikan. Apalagi, selama ini proses sertifikasi halal di Bali juga berjalan lancar terhadap usaha kuliner skala besar, UMKM, pedagang kaki lima, atau tempat-tempat penyembelihan yang memang tepat sasaran memenuhi syarat.
"Sertifikasi halal tidak ada unsur paksaan, tetapi kebutuhan pengusaha untuk mencari sertifikat halal," ujarnya.