Senin 05 Feb 2024 13:52 WIB

Majelis Wali Amanat UPI Tegaskan Kritik ke Jokowi Gerakan Kebangsaan, Bukan Partisan

UPI mengingatkan ada potensi chaos jika pilpres menyimpang dari UUD 1945.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Agus raharjo
Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang terdiri dari guru besar, mahasiswa, dan dosen menyatakan petisi tentang keprihatinan atas kondisi kebangsaan Indonesia di taman Partere, Senin (5/2/2024).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang terdiri dari guru besar, mahasiswa, dan dosen menyatakan petisi tentang keprihatinan atas kondisi kebangsaan Indonesia di taman Partere, Senin (5/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengungkapkan kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui petisi Bumi Siliwangi merupakan gerakan kebangsaan dan bukan partisan. Oleh karena itu, suara guru besar, mahasiswa, dosen merupakan gerakan moral.

"Ini adalah mimbar ilmiah atau gerakan moral kebangsaan, bukan gerakan politik, bukan gerakan partisan. Kalau membela salah satu partai politik itu namanya gerakan partisan. Ini adalah mimbar kebebasan sebagai warga negara," tutur Ketua MWA UPI Asad Said Ali saat memberikan sambutan di acara penyampaian petisi Bumi Siliwangi di Taman Partere, Senin (5/2/2024).

Baca Juga

Saat ini, ia menilai penyelenggaraan pemilu tidak berpatokan kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan. Namun, terlihat sangat berpihak dan nepotisme.

"Penyelenggaraan negara itu ada patokannya yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan. Jadi apapun, termasuk pilpres itu muaranya di situ tidak boleh menyimpang dari UUD 45 dan peraturan. Yang terjadi sekarang adalah apa yang disebut dengan pelanggaran nepotisme dan keberpihakan," kata dia.

Ia mengingatkan sivitas akademika UPI ingin mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak melampui aturan yang berlaku. Sebab dampak yang ditimbulkan berpotensi menyebabkan chaos di masyarakat.

"Kita ingin meluruskan, jangan sampai hal ini menimbulkan chaos seperti di zaman 1998, kita mencegah untuk tidak terjadi hal seperti itu. Jikalau diteruskan ini akan menjadi kegiatan yang anarki, seperti 1998," kata dia.

Ia meminta agar gerakan moral kebangsaan tidak anarki. Selain itu, menghargai kebebasan akademik di kampus.

"Jadi kita punya idealisme, bagaimana negara ini menjalankan politik, demokrasi dengan sebaik-baiknya. Yang kita kelihatan saat ini, yang tampak adalah agak sedikit menyeleweng, miring-miring yang perlu diluruskan kembali, inilah tugas kita," kata dia.

Ia pun meminta KPU dan Bawaslu untuk bertindak sesuai dengan undang-undang. Sebab apabila tidak bertindak maka akan berpotensi terjadi chaos.

"Saya tetap menolak untuk pelengseran presiden, saya menghargai undang-undang, itu tidak boleh. Tetapi juga di waktu yang sama pemerintah eksekutif harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan peraturan lainnya. Jangan sampai terjadi keberpihakan," kata dia.

Guru Besar UPI Fuad Abdul Hamied mengatakan pihaknya tidak berusaha memunculkan salah satu calon diantara tiga calon pada Pemilu 2024. Namun, ia mengaku ingin menata agar pemilu tidak dirusak.

"Pemilu ini adalah proses pendidikan demokratisasi yang positif dan baik kedepannya, itulah kepedulian kita saat ini, untuk menata, mencoba memberikan sesuatu yang positif, mencoba mengoreksi hal-hal buruk yang dilakukan oleh para penguasa dan orang-orang yang berada di posisi tertentu yang merusak tatanan demokrasi," kata dia.

Petisi Bumi Siliwangi dibacakan oleh sejumlah guru besar UPI, dosen, dan mahasiswa. Mereka yaitu Guru Besar UPI Cecep Darmawan, Guru Besar UPI Amung Mamun, Guru Besar UPI Elly Malilah, Dosen Iik Nurul Faik, dan perwakilan mahasiswa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement