REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) memberikan sejumlah catatan terkait putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) yang menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal itu lantaran mereka terbukti melanggar kode etik terhadap proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) 2024. PSHK FH UII menilai, meskipun masalah itu masuk ranah malaadministrasi, namun tingkah laku Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari telah berulang kali melanggar etik.
Alhasil, Hasyim mendapatkan sanksi peringatan keras terakhir. Hal itu telah nyata-nyata menafikan amanat konstitusi Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki sikap jujur dan adil.
"Bahwa pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota KPU lain dalam melakukan penetapan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan suatu tindakan pengabaian terhadap amanat Konstitusi dalam pelaksanaan Pemilu yang harus dilakukan secara berintegritas," kata peneliti PSHK FH UII, Muhammad Addi Fauzani dalam siaran pers di Yogyakarta, Senin (5/2/2024).
PSHK FH UII juga mencatat, keputusan DKPP dalam memberikan sanksi 'peringatan keras terakhir' kepada Ketua KPU terlihat sangat kompromistis dan mengabaikan prinsip keadilan pemilu. Hal itu karena vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan sanksi Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Menurut Addi, DKPP dalam peraturannya tersebut hanya mengatur mengenai sanksi, yaitu teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. "Terlebih terdapat fakta bahwa Ketua KPU telah dijatuhi paling tidak 3 kali sanksi peringatan keras," ucapnya.
PSHK FH UII menganggap pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu juga berimplikasi menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap proses pelaksanaan Pemilu 2024 yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luberjurdil). Berdasarkan sejumlah catatan tersebut PSHK UII menyampaikan sejumlah rekomendasi.
"Kepada ketua KPU RI sudah selayaknya mundur demi mengembalikan kepercayaan masyarakat akan penyelenggara pemilu yang jujur dan adil," ungkap Addi.
PSHK FH UII juga mengimbau kepada seluruh anggota KPU RI agar berbenah dan fokus dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. "Kepada DKPP dalam memutus setiap dugaan pelanggaran etik mestinya belandaskan pada hukum formil yang telah ditetapkan oleh DKPP sendiri sehingga tidak melahirkan putusan kompromistis yang mengabaikan prinsip keadilan pemilu," kata Addi.