REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauzih Mursid, Fuji Eka Permana, Mabruroh
Aksi masif boikot terhadap produk atau bisnis terafiliasi Israel sejak serangan Zionis ke Gaza Palestina faktanya tidak bisa dianggap enteng. Satu persatu entitas bisnis mereka 'morat-marit' menyusul berkurangnya penjualan dan pendapatan secara signifikan.
McDonald's misalnya, dilaporkan saat ini mengalami penurunan penjualan, terutama di Timur Tengah dan negara mayoritas berpenduduk muslim. Langkah McDonald Israel memasok makanan kepada tentara IDF berbuntut gelombang boikot terhadap jaringan waralaba makanan cepat saji itu di belahan dunia lain, khususnya negara-negara berpenduduk Muslim.
Seperti dilansir Reuters, Selasa (6/2/2024), McDonald's melaporkan penurunan penjualan pertama kalinya selama hampir empat tahun. Penurunan terjadi karena lesunya pertumbuhan penjualan yang sebagian disebabkan konflik di Timur Tengah, yang menyebabkan saham perusahaan turun sekitar 4 persen.
CEO McDonald's Chris Kempczinski menyampaikan, serangan Israel ke Gaza memiliki dampak terhadap kinerja beberapa pasar luar negeri pada kuartal keempat. Dengan dampak yang paling parah di Timur Tengah, kondisi serupa juga terjadi di pasar negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia, serta di Prancis.
"Selama perang ini masih berlangsung. Kami tidak memperkirakan akan melihat adanya perbaikan yang signifikan di pasar-pasar ini," ujar Kempczinski.
Zacks Investment Manajement yang memegang saham McDonald's juga menilai perang di Gaza akan menjadi perhatian besar mereka. Hal ini karena perang berkepanjangan akan memberi dampak terhadap bisnis mereka
“Efek terhadap ketahanan pendapatan akan menjadi kekhawatiran terbesar kami. Sepertinya ini akan menjadi masalah yang terus berlanjut hingga kuartal berikutnya atau bahkan dua kuartal berikutnya,” kata Brian Mulberry.
Tak hanya di pasar negara Muslim, belanja konsumen di daratan China yang merupakan pasar terbesar kedua McDonald's, juga tetap lemah. Meskipun McDonald's tidak memberikan rincian penjualan di masing-masing pasar internasional, McDonald's mencatat promosi industri secara luas meningkat di China selama kuartal tersebut karena restoran-restoran ingin menghidupkan kembali permintaan yang lesu.
Bisnis McDonald's di AS juga menunjukkan tanda-tanda pelemahan, terutama dengan konsumen berpendapatan rendah yang mengurangi jumlah pesanan atau beralih ke barang yang lebih murah. Hal ini mengakibatkan penjualan serupa di AS sebesar 4,3 persen pada kuartal tersebut, sedikit di bawah perkiraan kenaikan sebesar 4,4 persen. Namun, McDonald's melaporkan laba per saham yang disesuaikan sebesar 2,95 dolar AS mengalahkan perkiraan 2,82 dolar AS.
“Akan memakan waktu lama agar hasilnya kembali pulih (di Timur Tengah),” kata analis Stephens, Joshua Long.