OCEANIA.ID -- Pada era Khalifah Umar bin Khattab, ekspansi wilayah Islam berlangsung secara pesat. Empat tahun sejak dirinya menjabat khalifah, Yerusalem berhasil dibebaskan. Sang amirul mu`minin juga membuka jalan penaklukan atas Persia. Mesir pun jatuh ke tangan Muslimin sehingga membuat gentar penguasa Bizantium.
Khalifah Umar mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai gubernur Suriah. Dalam menjalankan perannya, Mu'awiyah mampu membendung rongrongan pasukan Bizantium di daerah perbatasan kekhalifahan.
Namun, sosok berjuluk Abu Abdurrahman itu menyadari, ancaman terbesar justru datang dari lautan. Dan, pertahanan Muslimin di kawasan pesisir masih lemah, tidak sebanding dengan armada tempur Bizantium.
Ia kemudian mengusulkan kepada Umar agar Kekhalifahan segera membangun angkatan laut. Dalam suratnya, ia berargumen bahwa Muslimin tidak bisa terus-menerus mengandalkan pergerakan pasukan di daratan.
Orang-orang Arab memang piawai bertempur di darat. Bila unggul, mereka terus menyerang. Sebaliknya, mereka akan mundur teratur atau berpencar ke gurun bila musuh kian mendesak.
Namun, keinginan Mu'awiyah ditolak sang khalifah. Khalifah Umar beralasan, orang-orang Arab tidak terbiasa bertempur di lautan. Dalam buku biografi karya Ali Muhammad as-Sallabi disebutkan jawaban Umar terkait usulan itu,
"Demi Zat yang mengutus Nabi Muhammad SAW dengan kebenaran, tidak akan pernah kuizinkan seorang Muslim berperang di lautan. Demi Allah, seorang Muslim lebih kuinginkan (keselamatannya) daripada semua yang dimiliki Bizantium. Jadi, berhentilah dengan saranmu itu."
Mu'awiyah tak bisa berbuat banyak untuk meyakinkan pemimpinnya. Pada November 644 M, Khalifah Umar ditusuk seorang budak Persia kala sedang memimpin shalat subuh. Ia meninggal dunia beberapa hari kemudian. Utsman bin Affan lantas terpilih sebagai penggantinya.
Berbeda dengan Umar, sahabat Nabi SAW yang berjulukan Pemilik Dua Cahaya itu cenderung mempertimbangkan masukan Mu'awiyah. Bagaimanapun, sang khalifah tidak langsung menyetujuinya. Sebab, dengan mengizinkan berarti ia telah menyalahi kebijakan Umar dan merusak janjinya dahulu sewaktu dibaiat.
Maka, Utsman sekadar membolehkan Mu'awiyah untuk membangun serangan via jalur laut secara sukarela. Artinya, pasukan Muslimin tidak sampai diwajibkan untuk mendaftar di angkatan laut, tapi juga tidak akan dihalang-halangi bila berminat mengikutinya. Dengan kebijakannya itu, inisiatif sang gubernur Suriah pun mulai diwujudkan. Inilah armada yang pertama dalam sejarah Islam.
Pembentukan angkatan laut Islam merupakan kabar buruk untuk Bizantium. Sebab, tidak ada celah bagi kekaisaran Kristen itu untuk merebut kembali Mesir kecuali dengan serangan laut. Di daratan, pasukan Muslimin terlalu sukar untuk dikalahkan. Terlebih lagi, tidak sedikit penduduk lokal yang justru memihak Islam.
Dengan keluarnya restu dari Madinah, Mu'awiyah pun memulai kampanye di seluruh Suriah. Ternyata, umat Islam menyambut antusias imbauannya untuk berjihad di lautan. Jumlah simpatisan bahkan melampaui dari yang telah diperkirakan Utsman dan Mu'awiyah sendiri. Mereka tidak hanya datang dari Suriah atau Mesir, tetapi juga suku-suku bangsa Arab di pesisir Yaman, Oman, dan Bahrain.
Dalam waktu yang relatif singkat, armada Islam menjadi kekuatan yang disegani di Mediterania Timur. Markasnya tersebar di kota-kota pelabuhan penting, seperti Tripoli, Beirut, Tyre, Akka, dan Jaffa.
Keunggulannya tidak hanya ditopang para prajurit yang siap mengorbankan nyawa di jalan Allah (fii sabilillah). Kekhalifahan juga didukung para ilmuwan yang berkontribusi khususnya dalam bidang astronomi, navigasi, persenjataan, dan teknik perkapalan
Sumber: Harian Republika