Jumat 09 Feb 2024 02:02 WIB

Kepikiran Golput Saat Pemilu, Bolehkah dalam Islam?

Golput dalam pemilu disebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Qommarria Rostanti
Golput (ilustrasi). Golput dalam pemilu disebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Golput (ilustrasi). Golput dalam pemilu disebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah di antara Anda masih bingung menentukan pilihan calon presiden (capres) untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024? Apakah terlintas untuk tidak memilih (golput)?

 

Baca Juga

Dilansir NU Online, Ustadz Alhafiz Kurniawan mengatakan golput dalam pemilu bertentangan dengan nilai-nilai Islam, yang menekankan kewajiban umat untuk menegakkan pemerintahan yang adil dan sah. Ustadz Alhafiz menjelaskan bahwa kehadiran masyarakat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) merupakan suatu keharusan darurat untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, meski tidak ada sanksi konstitusional bagi mereka yang tidak hadir.

Dengan merujuk pada pandangan Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Ustadz Alhafiz menyatakan bahwa menegakkan pemerintahan yang adil adalah kewajiban syari, bukan kewajiban rasional. Dia menyoroti pentingnya partisipasi aktif dalam pemilihan umum sebagai implementasi dari perintah syariat.

Ustadz Alhafiz menekankan, golput bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Hal ini mengingat pentingnya peran pemilihan umum dalam menjaga keberlangsungan aktivitas ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, kesehatan, dan hukum di Indonesia. Dia mengimbau masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan memilih calon yang dianggap terbaik di TPS yang telah ditentukan.

Selain itu, Ustadz Alhafiz mengatakan, saling hujat dalam pilihan politik bertentangan dengan etika Islam. Dia mengutip Surah al-Hujurat ayat 11 yang mengajarkan agar umat Islam tidak saling mengejek dan mencela satu sama lain.

Ustadz Alhafiz menyebut, Islam mengajarkan kesetaraan dan tidak membenarkan perilaku merendahkan atau mencela sesama muslim hanya karena perbedaan pilihan politik. Dia menyampaikan peringatan dari Syekh Jalaluddin As-Suyuthi mengenai pentingnya menjaga etika komunikasi dan menghindari saling mencela.

Dalam konteks pemilihan umum, dia menyarankan agar masyarakat tetap menjaga silaturahim dan menghindari pertikaian yang tidak perlu. Dia juga mengangkat anjuran Imam Al-Ghazali untuk mengganti tema pembicaraan jika politik dapat menimbulkan konflik dan fanatisme. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement