REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kesejahteraan sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis menyarankan agar beragam skema bantuan sosial (bansos) yang disiapkan pemerintah tidak dicairkan menjelang hari pencoblosan pemilu pada 14 Februari 2024. Menurut dia, pengucuran dana bansos jelang pemilu rawan politisasi.
"Kalau pun bansos mau tetap disalurkan, penyalurannya tidak boleh dilakukan oleh pejabat negara atau politisi yang mempunyai akses sebagai pejabat negara," ucap Rissalwan kepada wartawan di Jakarta dikutip Jumat (8/2/2024).
Sejak Januari 2024, pemerintah telah menggelontorkan bantuan pangan berupa beras 10 kilogram kepada puluhan juta keluarga penerima manfaat (KPM). Belum lama ini, Presiden Jokowi menginstruksikan agar bantuan tersebut diperpanjang masa penyalurannya hingga Juni 2024..
Pemerintah juga merilis bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 200 ribu per bulan dari Januari hingga Maret 2024 kepada 18 juta KPM. Bantuan yang menghabiskan anggaran hingga Rp 11,2 triliun itu rencananya bakal dirapel pada Februari 2024, menjelang pencoblosan pemilu.
Sejumlah analis menilai beragam skema bansos itu didesain untuk mengerek elektabilitas pasangan capres-cawapre nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Apalagi, pada saat bersamaan, Jokowi turun langsung membagikan bansos tersebut.
Rissalwan sepakat rangkaian penyaluran bansos oleh pemerintah bernuansa kepentingan politik. Menurut dia, politikus yang menjabat sebagai pejabat negara seringkali menunggangi bansos sebagai alat menjaring suara ketika pemilu.
"Memanfaatkan bansos sebagai wahana atau cara politik, saya kira itu adalah cara-cara yang kurang patut, kurang elok, dan kurang layak untuk dilakukan oleh pejabat negara," ujar Rissalwan.
Supaya tidak dipolitisasi, ia menyarankan agar penyaluran bansos dikelola oleh otoritas akar rumput, semisal ketua rukun tetangga (RT) atau ketua rukun warga (RW). Namun, perlu dipastikan agar otoritas pemerintahan terendah itu bebas dari afiliasi politik.
"Karena memang yang mendata di awal itu kan adalah ketua RT dan RW. Jadi, bansos tetap dibagikan, tapi oleh orang-orang yang memang berdekatan atau memang dapat memastikan bantuan tersebut tepat sasaran," ucap Rissalwan.
Menurut Rissalwan, struktur birokrasi akar rumput lebih beretika dalam menyalurkan bansos ketimbang elite politik. Di tingkat RT dan RW, sambung dia, terjalin ikatan solidaritas komunal dan sikap saling menghargai. "Dan, itu terpelihara karena antara interaksi di kalangan masyarakat di tingkat bawah," ucap Rissalwan.
Terlepas dari itu, Rissalwan berharap, Jokowi menunjukkan sikap kenegarawanan dan berhenti mempolitisasi bansos. Di lain sisi, media juga harus giat membangun kesadaran publik akan bahaya politisasi bansos.
"Presiden harus punya political will untuk menghentikan politisasi dari bansos. Saya kira sulit untuk membuat masyarakat otomatis sadar bahwa mereka sedang dipolitisasi. Tapi, saya kira pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan secara intensif juga bisa membantu," kata Rissalwan.