Jumat 09 Feb 2024 16:36 WIB

Kinerja Belum Pulih Sepenuhnya, Unilever Buyback Saham

Unilever mengakui kinerja penjualan produk mengecewakan dan perlu perbaikan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Fuji Pratiwi
Unilever
Foto: AP/Tatan Syuflana
Unilever

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Unilever membuka tahun baru dengan meluncurkan pembelian kembali atau buyback saham senilai 1,5 miliar euro atau sekitar 1,6 miliar dolar AS pada Kamis lalu.

Langkah itu dilakukan setelah volume meningkat untuk pertama kalinya dalam 10 kuartal, CEO raksasa industri barang konsumsi tersebut mengatakan, hal itu akan terjadi. 

Baca Juga

"Daya saing kami masih mengecewakan dan kinerja secara keseluruhan perlu ditingkatkan," kata Hein Schumacher dalam sebuah pernyataan dilansir Reuters, Jumat (9/2/2024).

Unilever berada pada tahap awal dari aksi ini dan masih banyak yang harus dilakukan. Hanya saja, perusahaaan bergerak dengan cepat dan mendesak. Tujuannya agar mengubah Unilever menjadi bisnis yang berkinerja lebih tinggi secara konsisten.

Sementara, produsen sabun Dove dan bumbu Hellmann itu mengatakan, laba operasional setahun penuh naik 2,6 persen menjadi 9,9 miliar euro dan margin operasi naik 60 basis poin menjadi 16,7 persen. Laba operasional perusahaan ini meleset dari ekspektasi analis sebesar 10,4 miliar euro dan margin 16,9 persen.

Saham Unilever naik sebanyak empat persen pada Kamis, mencapai titik tertinggi sejak terakhir kali melaporkan pendapatan pada Oktober. Sahamnya telah jatuh sekitar dua persen selama setahun terakhir.

"Hal utama yang bisa diambil yaitu melakukan pembelian kembali yang telah mengangkat harga pagi ini. Divisi kecantikan, kebugaran, dan perawatan pribadi terbilang solid. Hasil Divisi es krim, terutama volume yang lemah, mungkin menimbulkan spekulasi mengenai potensi penjualan kembali bisnis ini," kata Manajer Portofolio di Oberon Investments Jack Martin.

Dijelaskan, industri barang konsumsi telah berjuang untuk melindungi margin karena beragam hal mulai dari isu minyak bunga matahari dan pengiriman hingga pengemasan dan komoditas mentah menjadi lebih mahal akibat pandemi. Kenaikan biaya ini semakin parah setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, sehingga menyebabkan biaya energi mencapai rekor tertinggi.

"Kita akan terus melihat inflasi pada 2024. Menurut saya inflasi akan kembali ke tingkat normal. Normal yang saya maksud adalah antara 2,5 persen hingga 3 persen," kata Schumacher.

Beberapa perusahaan mulai mengurangi kenaikan harga, sejalan dengan melambatnya inflasi, dengan harapan dapat menarik kembali pembeli yang beralih ke produk yang lebih murah dan label pribadi pengecer. Persentase bisnis Unilever yang memenangkan pangsa pasar dalam jangka waktu 12 bulan mengecewakan yaitu sebesar 37 persen, kata perusahaan tersebut, dirugikan oleh pengurangan portofolionya, kenaikan harga dan perubahan kebiasaan belanja. Pada Oktober, jumlahnya mencapai 38 persen.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement