Jumat 09 Feb 2024 16:51 WIB

Analis Energi Nilai Kapasitas Produksi Baterai di Indonesia Masih Perlu Ditingkatkan

Indonesia adalah produsen kobalt terbesar kedua di dunia.

Red: Lida Puspaningtyas
Petugas menunjukkan unit Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) untuk motor listrik yang baru dipasang di PLN UP3 Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (3/1/2024). PT PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jatim mencatat hingga akhir tahun 2023 terdapat 33 lokasi SPKLU, 448 Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) untuk pengisian motor listrik serta 3 unit Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) dan akan terus ditambah pada tahun 2024 untuk menguatkan pembentukan ekosistem kendaraan listrik di Jawa Timur.
Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Petugas menunjukkan unit Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) untuk motor listrik yang baru dipasang di PLN UP3 Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (3/1/2024). PT PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jatim mencatat hingga akhir tahun 2023 terdapat 33 lokasi SPKLU, 448 Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) untuk pengisian motor listrik serta 3 unit Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) dan akan terus ditambah pada tahun 2024 untuk menguatkan pembentukan ekosistem kendaraan listrik di Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai Indonesia perlu meningkatkan kapasitas produksi baterai, karena diperkirakan hanya akan memiliki 10 gigawatt hour (GWh) atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global pada 2024.

“Energy Shift Institute memperkirakan tahun ini Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global, 2.800 GWh,” ujar Putra dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Sejauh ini, kata Putra, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, nilai tersebut masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai.

Padahal, Putra melanjutkan, konstruksi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing nikel Indonesia bersandar pada janji pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik.

Apabila kapasitas produksi baterai Indonesia tidak ditingkatkan, Putra menilai Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai.

“Penting untuk berbagai pihak yang terlibat tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dunia baru saja memasuki babak awal,” ujar dia.

Terkait dengan pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel dan perdebatan masa depan nikel, Putra justru mengatakan bahwa permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung.

Peningkatan tersebut, kata dia, dapat terjadi seiring dengan laju adopsi KBLBB meskipun hadir teknologi alternatif.

“Penting dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting dibandingkan pangsa pasar,” kata Putra.

Putra berpandangan bahwa selain nikel, yang kerap luput dari perhatian adalah peningkatan produksi kobalt oleh Indonesia sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia.

“Hal ini semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal,” kata dia pula.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement