REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dianggap mengeluarkan beberapa pernyataan kontroversial setelah dirinya mundur sebagai Komisaris Utama (Komut) Pertamina per 1 Februari 2024 lalu. Hal itu dianggap sebagai manuver politik Ahok sebagai politisi PDIP yang notabene mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3, Ganjar-Mahfud dalam Pilpres 2024.
Menurut pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, sosok Ahok memang dikenal kontroversial, sehingga justru akan cukup aneh jika dia bersikap sebaliknya. Pernyataan Ahok yang menyerang Presiden RI Joko Widodo maupun calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dinilai sebagai bagian strategi menyerang lawan politik.
"Saya melihat Ahok kontroversi itu kan biasa, bukannya menarasikan kampanye yang bagus terkait Ganjar-Mahfud, malah menyerang. Tapi sebenarnya dalam politik itu biasa, tapi itu bisa merugikan Ahok dan 03," kata Ujang saat dihubungi, Sabtu (10/2/2024).
Ujang mengatakan sejatinya Ahok bisa menarasikan soal berkampanye yang baik. Serangan yang dilakukan Ahok mungkin merupakan bagian strategi ofensif.
"Tapi masyarakat tidak simpati kalau caranya menyerang lawan," lanjut dia.
Ujang menyebut sosok Ahok sejauh ini memang dikenal ceplas-ceplos. Setelah mundur dari Pertamina, Ahok lalu ikut bergabung dalam tim pemenangan Ganjar-Mahfud.
Ujang melihat bahwa Ahok menjadi bagian amunisi atau alat dari partainya untuk menyerang lawan politik. Dalam hal ini Jokowi dan Gibran dianggap berbeda kubu yang artinya lawan politik Ahok di Pilpres 2024.
"Ucapannya tidak bisa dijaga, cuplas-ceplos seolah merasa yang paling benar," ujarnya.
Sebelumnya pernyataan Ahok yang dianggap kontrovesial, seperti mengaku kesulitan ikut kampanye Pilpres 2024 meski sudah melayangkan surat pengunduran diri sebagai Komisaris Utama Pertamina. Kemudian mempertanyakan soal Presiden Joko Widodo dan Gibran yang tidak bisa bekerja.