REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja tak mempermasalahkan kritik yang ditujukan kepada Bawaslu RI dalam film dokumenter 'Dirty Vote'. Bawaslu RI mengklaim sudah bekerja maksimal selama ini.
Bagja justru merasa bersyukur atas kritik terhadap Bawaslu RI. Bagja mengklaim Bawaslu RI sudah menjalankan tugas semaksimal mungkin.
"Proses (Pemilu) sedang berjalan, kami juga tidak mau proses-proses ini dianggap tidak benar. Tapi pada titik ini Bawaslu telah melakukan tugas dan fungsinya dengan baik," kata Bagja dalam konferensi pers di kantor Bawaslu pada Ahad (11/2/2024).
Bagja merasa dirinya tak bisa membatasi kritik atau bahkan asumsi negatif terhadap Bawaslu RI. Bagja mempersilahkan masyarakat menilai sendiri kinerja Bawaslu RI.
"Tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat silahkan," ujar Bagja.
Walau demikian, Bagja menyinggung agar Dirty Vote tak sampai memantik konflik jelang pencoblosan pada 14 Februari 2024. Bagja mendorong agar masyarakat dapat menyalurkan hak pilihnya dalam kondisi damai dan aman.
"Hal-hal yang bisa menimbulkan konflik dan lain-lain, lebih baik dihindarkan. Karena sekarang menjelang pemungutan suara," ujar Bagia.
Dalam keterangan pada film yang diunggah ke platform Youtube itu dijelaskan, 'Dirty Vote' merupakan sebuah film dokumenter yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Disebutkan, ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi. Namun Bawaslu RI dinilai tak mampu memberi sanksi tegas.
"Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara," bunyi keterangan itu.