REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mengapresiasi film "Dirty Vote" yang dirilis H-3 pencoblosan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, film tersebut dapat memberikan literasi politik kepada masyarakat Indonesia.
Isi film tersebut sejalan dalam pemberitaan di banyak media massa. Misalnya soal pengarahan kepala desa, intimidasi, politisasi bansos, hingga persebaran 20 persen suara sebagai syarat kemenangan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
"Anda boleh tidak setuju dengan Dirty Vote, tetapi film ini membantu mengedukasi dan meningkatkan literasi politik di Indonesia. Kita ini bisa kuat karena punya demokrasi, dan inilah yang jadi taruhan sebagai sebuah bangsa dan negara," ujar Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis.
Film Dirty Vote berdurasi hampir dua jam, yang menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang punya reputasi baik. Ketiganya, yakni Zaenal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti yang menjelaskan tentang indikasi kecurangan selama tahapan Pemilu 2024.
"Banyak orang baperan kalau dikritik, sikap ini berbahaya. Kalau tidak setuju dengan film itu, bantah saja dengan membuat film lain atau dengan argumen yang baik. Kritik harus dibalas dengan kritik," ujar Todung.
"Jangan kemudian melaporkannya ke polisi, karena kriminalisasi hanya akan membunuh demokrasi, menghambat kreativitas dan mematikan industri kreatif," sambungnya.
Di samping itu, ia sebenarnya melihat tak ada hal baru dalam film itu. Todung pun tak setuju atas pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang menyebut Dirty Vote sengaja dibuat untuk mendegradasi penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Dengan segala respect, saya tak sependapat dengan yang disampaikan Habiburokhman. Apa yang disampaikannya tak mencerminkan yang dirasakan publik. Kritik atas intimidasi itu sudah ada di mana-mana. Jangan baper dan sedikit-sedikit lapor ke kepolisian, sehingga membuat dalam demokrasi kita jadi tak sehat dan mengalami kemunduran," ujar Todung.