REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan surat utang (obligasi) korporasi pada 2024 akan tumbuh positif. Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto memproyeksikan penerbitan surat utang korporasi akan berada di kisaran Rp 148,15 triliun hingga Rp 169,05 triliun dengan titik tengah berada di Rp 155,46 triliun pada 2024 di tengah penyelenggaraan Pemilihan Umum (pemilu).
“Surat utang korporasi dipengaruhi nilai jatuh tempo dan pertumbuhan ekonomi di 2024, prospeknya akan lebih baik dibandingkan 2023," kata Suhindarto dalam konferensi pers secara daring, Selasa (13/2/2024).
Dia menjelaskan, dengan adanya suku bunga yang masih tinggi terdapat peluang yang baik. Khususnya bagi para investor untuk mendapatkam imbal hasilnya.
Suhindarto menambahkan, untuk faktor pendorong maka kebutuhan refinancing akan lebih tinggi pada tahun ini. Hal tersebut terindikasi dari nilai surat utang yang jatuh tempo pada 2024 senilai Rp 153,1 triliun.
"Nilai jatuh tempo ini atau lebih tinggi dibandingkan 2023 yang senilai Rp 126,9 triliun," ucap Suhindarto.
Dia mengungkapkan aktivitas kampanye menjelang pemilu serentak juga bisa menjadi dorongan untuk membuat permintaan sektor riil tetap kuat dan stabil. Terlebih, Suhindarto menyebut pertumbuhan ekonomi diperkirakan berkisar pada 4,8 persen hingga 5,2 persen dengan inflasi pada 2-3,5 persen.
Suhindarto menuturkan, kondisi wait and see saat ini cenderung menurun. "Hal ini seiring kepastian kontestasi Pemilu serta program prioritas yang diusung,” tutur Suhindarto.
Pefindo mencatat, surat utang korporasi jatuh tempo pada 2024 mendatang didominasi oleh perusahaan sektor multifinance senilai Rp 26,3 triliun. Lalu diikuti sektor perbankan senilai Rp 24,7 triliun, sektor telekomunikasi senilai Rp 14,1 triliun, dan sektor lembaga keuangan khusus senilai Rp 14,0 triliun.
Selanjutnya, sektor pembiayaan non-multifinance senilai Rp 12,1 triliun, sektor pulp dan kertas senilai Rp 8,3 triliun. Lalu sektor pertambangan senilai Rp 7,5 triliun, sektor konstruksi senilai Rp 5,4 triliun, sektor properti senilai Rp 5,1 triliun, sektor perkebunan senilai Rp 4,4 triliun, dan sektor lainnya senilai Rp 36,4 triliun.