REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr R Siti Zuhro menyatakan fatwa Nahdlatul Ulama (NU) pada masa Pemilihan umum (Pemilu) pertama tahun 1955 tentang zakat yang tidak boleh dipolitisasi bisa jadi pembelajaran.
"Ada relevansinya sampai sekarang, jadi NU berperan penting sampai mengeluarkan fatwa seperti itu, berarti Pengurus Besar NU sudah mengantisipasi dampak negatif kalau zakat ini dipolitisasi," kata Siti dalam diskusi secara daring bersama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tentang sejarah Pemilu 1955 yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Ia menghubungkan fatwa tersebut dengan kondisi pada pemilu saat ini, dimana banyak terjadi bantuan sosial (sosial) yang dipolitisasi.
"Sekarang kan kita tahu, bansos dipolitisasi. Apa bedanya dengan maklumat seperti itu? Ini menarik karena NU saat itu sudah menjaga betul integritasnya. Jadi umat itu jangan dijejali dan disuapi dengan kepentingan-kepentingan sesaat untuk memenangkan suara," tuturnya.
Ia menegaskan relevansi fatwa NU dengan fenomena bansos bisa menjadi pembelajaran tentang pentingnya integritas dalam berpolitik.
"Ini relevan sekali dengan bansos. Kalau ini disampaikan sekarang dan menjadi bahan pembelajaran, bisa disampaikan bahwa ini lho, NU punya keberpihakan, punya empati yang luar biasa sampai menyampaikan bahwa tidak boleh zakat dipolitisasi. Jadi isu integritas itu nomor satu ternyata," ucapnya.
Ia juga menyampaikan generasi Z sangat perlu mempelajari sejarah tersebut dan memiliki kebanggaan bahwa di masa pemilu pertama, sudah ada antisipasi agar zakat atau bansos tidak ditumpangi dengan kepentingan politik.
"Jadi gen Z ini perlu bangga bahwa pada era itu sudah ada semacam antisipasi dan seruan, relevan, dan signifikan dengan saat ini terkait isu bansos," ujar dia.
ANRI bekerja sama dengan BRIN melaksanakan diskusi secara daring yang bertajuk "Topik seputar cerita Presiden terdahulu (Top secret)" dengan tema "Pemilu dan kita: Refleksi masa lalu dan harapan masa depan."
Menurut Siti, sejarah mengenai pemilu perlu dipelajari sebagai sarana integrasi bangsa.
"Pemilu itu yang pertama, dapat dimaknai sebagai sarana untuk suksesi (pergantian kepemimpinan). Kedua, sebagai kompetisi kontestasi, dan ketiga, koreksi terhadap rezim. Sistem demokrasi kita sudah memberikan satu jaminan secara terukur bahwa ada pergantian kepemimpinan ini setiap lima tahun sekali," katanya.