Kamis 15 Feb 2024 14:30 WIB

Bagaimana Seharusnya Anak Muda Meniru Peradaban Barat? 

Anak muda harus pandai memilah budaya dan peradaban Barat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi anak muda mengaji kitab kuning, mengambil hikmah dari masa lalu untuk memilah peradaban membangun masa depan.
Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Ilustrasi anak muda mengaji kitab kuning, mengambil hikmah dari masa lalu untuk memilah peradaban membangun masa depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdapat sekelompok orang yang mengaku meniru peradaban bangsa Barat, namun mereka tidak mengikuti dalam hal kajian ilmu pengetahuan yang berguna dan tidak pula mencontoh etos kerja mereka dalam menghasilkan kemanfaatan. Mereka hanya meniru perilaku bangsa Barat yang rusak dan bejat moralnya. 

Mereka tidak mengerti tentang peradaban selain hanya mengikuti hawa nafsunya, berbuat kemungkaran, berpakaian dengan mengikuti mode, berpegang pada kebiasaan-kebiasaan hina, dan menghambur-hamburkan harta untuk perbuatanperbuatan yang tercela. 

Baca Juga

Lalu bagaimana seharusnya anak muda meniru peradaban Barat? 

Ulama yang berpandangan modern dan berkaliber internasional kelahiran Beirut, Syekh Musthafa al-Ghalayain (1885-1944 M) berpesan kepada kepada generasi muda agar meniru bangsa Barat dalam kajian ilmu pengetahuan yang bermanfaat. 

Dia meminta agar anak muda waspada terhadap pemahaman mengenai peradaban yang tidak sesuai dengan hakikat peradaban itu sendiri, sehingga menyebabkan kerugian bagi dunia maupun akhiratnya, serta dapat mendatangkan penyakit pada tubuh dan kerusakan pada akal pikirannya.

Peradaban yang benar akan membentuk perilaku orang menjadi beradab, juga sehat secara fisik maupun pikiran. Juga mengemasnya dengan perhiasan yang menjadikannya indah mempesona di hadapan keluarga, komunitas, dan lingkungannya, serta menjadikannya bahagia di dunia maupun akhirat. 

"Siapa yang mengenakan pakaian peradaban dan bertindak sesuai dengan makna peradaban yang sesungguhnya, ia berhak menyandang status orang yang beradab," kata Syekh al-Ghalayain dinukil dari terjemahan kitab Izhatun Nasyi’in terbitan TuRos.

Namun, lanjut dia, barang siapa yang memahami makna peradaban tidak sebagaimana mestinya—mengenakan pakaian yang tidak menunjukkan makna peradaban—ia termasuk orang yang tertutup hatinya. Ada tembok penghalang antara mereka dengan kebahagiaan yang tidak mampu diterobos oleh dorongan-dorongan cita-cita. Bahkan, kata dia, cita-cita untuk mencapai puncak keberhasilan menjadi lemah dan optimisme untuk menggapainya pun menjadi kacau (putus asa). 

Syekh al-Ghalayain mengatakan, peradaban tidak lain adalah akhlak mulia, yang dapat membuahkan kerukunan antar individu dan menyatukan semua golongan. Menurut dia, peradaban adalah usaha dan amal perbuatan yang melahirkan kemajuan negara dan meningkatkan kondisi sosial, upaya untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela untuk memperoleh kemuliaan, menahan dari perbuatan yang dapat membahayakan manusia, menjauhkan dari akhlak tercela, berusaha maksimal untuk meringankan penderitaan orang-orang yang susah, dan membangun lembaga-lembaga pendidikan. 

Menurut dia, Bangsa-bangsa Timur (Asia) dahulu terkenal memiliki peradaban yang tinggi dan kekuatan untuk meneguhkan pilar-pilar bernegara. Kemudian zaman berubah dan terjadilah apa yang menimpa mereka sekarang. Kemakmuran yang telah dicapai runtuh dan kemajuan peradaban yang telah digapai sirna. 

"Itu merupakan hukum Allah yang ditetapkan bagi orang-orang yang tidak mengamalkan norma-norma sosial dan tidak berjalan di atas rel peradaban yang benar," jelas Syekh al-Ghalayain. 

Pada akhirnya, lanjut dia, khazanah keilmuan dan peradaban bangsa Timur beralih ke sebuah bangsa yang mengerti keutamaan peradaban, yakni bangsa Barat. Menurut dia, bangsa Barat menjunjung tinggi dan melapangkan dada untuk mengembangkan peradaban ini, serta meningkatkannya sesuai tuntutan kemajuan dan kebutuhan, sehingga mereka mencapai kesempurnaan yang luar biasa dalam peradaban. Mereka terus mengalami kemajuan yang besar dan berhasil menguasai serta mengendalikan bangsa-bangsa yang mundur. 

Hanya saja, menurut Syekh al-Ghalayain, peradaban Barat juga tidak lepas dari noda dan cela yang mencampuri setiap bangsa yang telah meluas kemakmurannya dan berkembang pesat peradabannya. Meskipun mereka tidak senang terhadap duri-duri yang menjadi rintangan di luar kesadaran mereka, tapi mereka berusaha untuk menyingkirkan noda dan cela tersebut dan membersihkan peradabannya. 

Syekh al-Ghalayain melanjutkan, bangsa Timur sekarang ini telah sadar dari kelengahannya dan bangun dari tidurnya serta meniru kemajuan peradaban Barat, sebagaimana bangsa Barat dahulu meniru peradaban bangsa Timur. Hanya saja kemajuannya pelan dan usahanya lemah.

Mayoritas orang-orang yang meniru peradaban Barat sekarang ini hanya sebatas pada sisi luar peradabannya saja dan mengabaikan inti sarinya. Jadi apa yang mereka pelajari hanyalah sebatas teori-teori yang tidak cukup menghilangkan dahaga. 

"Ilmu harus diamalkan, namun mereka tidak mengetahui hal itu. Manfaat ilmu kosmologi adalah untuk mengukur apa yang telah dicapai oleh bangsa Barat, berupa terciptanya lapangan pekerjaan dan pabrik-pabrik yang mengucurkan kekayaan yang melimpah pada negara, mengurangi angka kemiskinan, dan menghapus pengangguran," kata Syekh al-Ghalayain. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement