Kamis 15 Feb 2024 13:31 WIB

Buntut Pungli, 12 Pegawai Rutan KPK Kena Sanksi Berat Berupa Permintaan Maaf

Hal memberatkan terperiksa yakni melakukan perbuatan berulang dan merusak kepercayaan

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menjatuhkan sanksi berat kepada 12 petugas rumah tahanan (Rutan) KPK yang terjerat kasus pungutan liar (Pungli). Tapi bentuk sanksi beratnya cuma berupa permintaan maaf. 

Dewas memutuskan ke-12 pegawai tersebut telah melakukan pelanggaran etik dan perilaku sesuai Pasal 4 Ayat (2) huruf b Peraturan Dewas KPK Nomor 03 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.

 

"Telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan yang dimiliki," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam pembacaan putusan pada Kamis (15/2/2024).

 

Dalam Peraturan Dewas KPK, sanksi berat yang dijatuhkan bagi pegawai memang berupa permintaan maaf secara langsung. Hal ini berdasarkan Pasal 11 Ayat (3) Peraturan Dewas KPK Nomor 03 tahun 2021. "Menjatuhkan sanksi berat kepada terperiksa I sampai dengan XI dan XIII masing-masing berupa permintaan maaf secara terbuka langsung," ujar Tumpak. 

 

Ke-12 orang pegawai tersebut masuk dalam kluster pertama dari enam kluster yang putusannya dibacakan oleh Dewas KPK. Total terdapat 90 pegawai KPK yang terjerat dalam kasus pungli rutan ini. 

 

Dalam kluster pertama ini sebenarnya ada 13 orang terperiksa yaitu Muhammad Abduh, Suharlan, Gian Javier Fajrin, Syarifudin, Dian Hartanto, Gusnur Wahid, Firdaus Fauzi, Ismail Chandra, Ari Rahman Hakim, Zainuri, Rohimah, Asep Jamaludin, dan Wardoyo. Tapi Dewas memutuskan tak berwenang menyidangkan Asep Jamaludin sehingga melimpahkannya ke Inspektorat.

 

"Menyerahkan kepada Sekretaris Jenderal selaku Pejabat Pembina Kepegawaian untuk diproses lebih lanjut," ujar Tumpak. 

 

Dewas KPK juga memutuskan tak ada hal-hal yang meringankan bagi para terperiksa. Tapi Dewas KPK mencantumkan sejumlah hal memberatkan yaitu perbuatan para terperiksa dilakukan terus menerus, merusak kepercayaan publik terhadap KPK, perbuatan para terperiksa tak mendukung pemberantasan korupsi.

 

Awalnya, kasus pungli ini didapati Dewas KPK lewat temuan awal hingga Rp 4 miliar per Desember 2021 sampai Maret 2023. Uang haram tersebut diduga berhubungan dengan penyelundupan uang dan ponsel bagi tahanan kasus korupsi. Dewas KPK lantas melakukan rangkaian pemeriksaan etik. Dari proses itu, ditemukan jumlah uang pungli di Rutan KPK ditaksir di angka Rp 6 miliar sepanjang tahun 2018-2023.

 

Untuk menyelundupkan ponsel ke dalam rutan KPK, tahanan wajib menebusnya dengan uang sekitar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Parahnya lagi, ada uang bulanan yang wajib dibayarkan. Dalam perkara etik ini, Dewas KPK pun mengantongi 65 bukti berupa dokumen penyetoran uang dan lainnya. 

 

Rincian uang yang diterima 2018-2023:

 

A. Terperiksa I Muhammad Abduh tahun 2020 - 2023 sekitar Rp 85.000.000

B. Terperiksa Il Suharlan tahun 2018 - 2022 sekitar RP 128.700.000

C. Terperiksa I Gian Javier Fajrin, tahun 2018 - 2023 sekar Rp 97.000.000

D. Terperiksa IV Syarfuddin tahun 2019 -2023 sekitar Rp95.100.000

E. Terperiksa V Wardoyo tahun 2019 - 2023 sekitar Rp 72.600.000

F. Terperiksa V Gusnur Wahid tahun 2021-2023 sekita Rp 68.500.000

G. Terperiksa VIl Firdaus Fauzi tahun 2018 dan 2022- 2023 sekitar Rp46.500.000 

H.Terperiksa VIll Ismail Chandra tahun 2021 dan 202 sekitar Rp30.000.000 

I. Terperiksa IX Ari Rahman Hakim tahun 2022 dan 2023 sekitar Rp31.000.000 

J. Terperiksa X Zainuri tahun 2023 sekitar Rp8.500.000

K.Terperiksa XIl Dian Ari Harnanto tahun 2020 sekiar Rp4.000.000

L.Terperiksa XIl Rohimah tahun 2018-2023 sekitar Rp 29.500.000

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement