REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usai pencoblosan Pemilu 2024 kemarin, hasil hitung (quick count) pemilihan presiden sejumlah lembaga survei memicu perdebatan di masyarakat. Terutama bagi pendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang angkanya tertinggal jauh. Kritikan maupun ungkapan ketidakpercayaan kepada hasil hitung cepat pun mengemuka di sosial media maupun di percakapan sehari-hari.
Bagaimana sebenarnya kiprah hitung cepat di perpolitikan di Indonesia? Apakah hasil hitungan model ini meleset jauh dari hasil hitung manual KPU sepanjang pilpres langsung? Atau ternyata hasilnya selalu terbukti amat dekat dengan hasil riil dari KPU?
Hitung cepat di pilpres ternyata sudah berumur 20 tahun. Pelopornya adalah LP3ES alias Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
LP3ES sendiri adalah salah satu organisasi riset tertua dan kredibel di tingkat nasional. Kiprah risetnya maupun penelitinya kredibel. Lembaga inipun menerbitkan jurnal ilmiah Prisma, yang di kalangan kampus amat disegani artikel-artikelnya.
Pada Pilpres 2004, LP3ES menggelar hitung cepat dibantu oleh National Democratic Institute (NDI), salah satu organ di bawah Partai Demokrat AS. Pilpres 2004 putaran kedua diikuti oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi.
Hasil hitung cepat yang digelar LP3ES-NDI mencatatkan pasangan SBY-JK meraup 62,2 persen mengalahkan pasangan Mega-Hasyim 38,8 persen. Bagaimana hasil hitung manual KPU? Dari hitung-hitungan dokumen surat suara, SBY-JK meraup 60,62 persen sedangkan Mega-Hasyim 39,38. Hasil hitung cepat perdana pilpres itu ternyata cukup ampuh karena hanya meleset sekitar dua persenan.
Pada Pilpres 2009, makin lembaga survei melirik model hitung cepat ini. Sementara LP3ES justru tidak menggelarnya. Persaingan Pilpres 2009 masih melibatkan SBY yang kali ini berpasangan dengan Boediono, melawan Mega (lagi) yang kali ini menggandeng Prabowo Subianto, dan juga Jusuf Kalla - Wiranto. SBY menang telak satu putaran.
Salah satu lembaga survei yang menggelar hitung cepat adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mencatat SBY-Boediono unggul telak dengan 60,85. Sementara Megawati lagi-lagi terkapar di perolehan 26,56, dan JK-Wiranto di angka 12,41.
Kembali kita bandingkan hasil hitung cepat ini dengan hitung manual dokumen hasil pencoblosan. KPU mencatat, SBY-Boediono meraih 60,80 persen, Mega-Prabowo 26,79 persen, serta JK-Wiranto 12,41 persen. Hasil hitung cepat di pilpres kala itu terbukti valid karena amat mendekati hasil hitungan KPU, dengan selisih kurang dari satu persen.
Di laga Pilpres 2014, yang memunculkan Joko Widodo bersanding dengan JK, melawan Prabowo yang kala itu menggandeng Hatta Rajasa. Di sini, nyaris seluruh lembaga survei yang terdaftar di KPU menggelar hasil hitung cepatnya. Termasuk juga yang tidak terdaftar di KPU yang kemudian dijadikan landasan Partai Gerindra untuk sempat mengeklaim kemenangan.
Hitung cepat yang dilakukan, misalnya oleh, Litbang Kompas menunjukkan Jokowi-JK berhasil meraih 52,88 persen sementara Prabowo-Hatta mendekat di 47,22 persen. Kembali disandingkan dengan hasil hitung manual KPU seperti berikut: Jokowi-JK 53,15 dan Prabowo-Hatta 46,85 persen. Lagi-lagi hitung cepat menunjukkan keakuratannya dengan deviasi di bawah satu persen.
Lima tahun lalu, di Pilpres 2019, keakuratan hitung cepat kembali terbukti. LSI Denny JA misalnya memotret pasangan Jokowi-KH Maruf Amin memperoleh 55,71 persen sementara Prabowo yang kala itu berlaga dengan Sandiaga Uno mendapat 44,29 persen. Dibandingkan dengan hasil hitung manual KPU, di mana Jokowi-KH Maruf Amin tercatat mengumpulkan 55,50 persen dan Prabowo-Sandi mendekat di 44,50 persen. Lagi-lagi selisih keakuratan di bawah satu persen.
Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa untuk laga Pilpres, hasil model hitung cepat dalam 20 tahun terakhir ini terbukti amat akurat memotret siapa paslon yang menang. Apakah hasil serupa akan terulang di pilpres kali ini? Kita masih harus menunggu sampai pertengahan Maret, ketika hasil hitung manual KPU tuntas. Sementara ini, seluruh lembaga survei, dengan data responden sudah mendekati 90 persen menempatkan Prabowo-Gibran menang kontestasi satu putaran dengan perolehan 50 persen lebih.