REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku masih menghimpun laporan dari daerah terkait situasi yang dapat jadi alasan untuk dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU). Laporan dari daerah itu nantinya akan dipadankan dengan laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, saat ini pihaknya masih menghimpun laporan dari KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota terkait situasi yang menjadi alasan PSU. Laporan dari daerah itu akan dipadukan dengan hasil temuan Bawaslu.
"Jadi sama-sama kita klarifikasi atau kroscek antara data laporan dari KPU dan juga data temuan dari Bawaslu," kata dia saat konferensi pers di Media Center KPU, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).
Ia menjelaskan, pelaksanaan PSU dapat dilakukan atas rekomendasi panitia pengawas pemilu kecamatan (panwascam). Rekomendasi panwascam itu akan disampaikan kepada PPK, untuk selanjutnya dilaporkan kepada KPU kabupaten/kota.
Menurut Hasyim, berdasarkan Undang-Undang Pemilu, pihak yang menentukan dilakukan PSU atau tidak adalah KPU kabupaten/kota. "Tentu saja bisa karena penilaiannya sendiri, bisa juga karena rekomendasi Bawaslu," kata dia.
Ia mencontohkan, misalnya KPU menerima laporan dari KPU Nusa Tenggara Barat (NTB) terkait proses penghitungan suara rusuh karena ada calon yang kalah. Karenanya, peralatan dan hasil penghitungan yang ada di TPS itu menjadi rusak.
Ketika sejumlah dokumen terdampak rusak menjadi sangat mungkin untuk dilakukan PSU. Namun, ketika domumen hasil penghitungan suara tetap aman dan saksi menganggap kondusif, rekapitulasi dapat dilanjutkan di tingkat kecamatan.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya mendapatkan temuan 2.413 TPS yang berpotensi dilakukan PSU. Namun, temuan itu masih harus ditindaklanjuti terlebih dahulu sebelum dijadikan rekomendasi.
"Kami punya waktu 10 hari, tapi semoga tidak sampai 10 hari. Jadi kami meminta waktu ke panwascam, karena akan kerepotan juga untuk temen-teman di KPU," kata dia.