Jumat 16 Feb 2024 05:27 WIB

Tiga Hal dalam Islam yang Disembunyikan oleh Pria Poligami

Nabi Muhammad SAW menolak putrinya dipoligami.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Pengajian Jenggala bersama KH Mukti Ali Qusyairi dan Menteri Perdagangan RI periode 2020-2022 Muhammad Lutfi di Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (15/2/2024) malam.
Foto: Republika/Umar Mukhtar
Pengajian Jenggala bersama KH Mukti Ali Qusyairi dan Menteri Perdagangan RI periode 2020-2022 Muhammad Lutfi di Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (15/2/2024) malam.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Mukti Ali Qusyairi menguraikan berbagai hal tentang poligami dalam perspektif Islam.

Ini dia jelaskan dalam diskusi dan pengajian Jenggala bertema "Mengurai Tabu: Seks, Pernikahan, dan Dinamika Kekuasaan dalam Konteks Keislaman Indonesia" yang digelar di Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Pengajian turut dihadiri Menteri Perdagangan RI periode 2020-2022 Muhammad Lutfi.

Baca Juga

Merujuk pada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali, Kiai Mukti Ali memaparkan beberapa hal yang sering kali tidak diungkap oleh lelaki yang getol poligami. "Nabi Muhammad SAW itu menikah dengan Siti Khadijah pada usia 25 tahun. Beliau monogami selama 25 tahun," paparnya.

1. Nabi Muhammad SAW Monogami 25 tahun, 13 tahun Poligami

Kiai Mukti Ali menjelaskan, rentang waktu monogami Nabi Muhammad SAW lebih panjang ketimbang waktu selama beliau melakukan poligami. Nabi SAW menikah dengan Siti Khadijah pada saat usia beliau 25 tahun. Hingga usia 50 tahun, Nabi SAW tidak pernah poligami.

Barulah ketika memasuki usia di atas 50 tahun, Nabi SAW melakukan poligami. Tetapi itu pun karena perintah wahyu, dan bukan atas dasar kehendak beliau SAW.

"Selama 25 tahun Nabi SAW monogami, ditambah 25 tahun lagi (sebelum menikah dengan Khadijah sejak kelahiran). Jadi 50 tahun Nabi tidak pernah poligami. Dan 13 tahun poligami, tapi sekarang kok lebih merujuk ke 13 tahun itu. Seharusnya yang kita menangkan adalah yang 50 tahun itu," jelas Kiai Mukti Ali.

2. Nabi SAW Menolak Putrinya Dipoligami

Kiai Mukti Ali menukil hadits shahih yang mengisahkan ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu sudah menikah dengan putri Rasulullah SAW yaitu Fatimah, minta restu kepada Nabi Muhammad SAW untuk menikah lagi dengan putri Bani Hasyim bin Mughirah.

Nabi SAW pun menolak memberikan izin. Beliau SAW berkata, "Wahai Ali, kamu sama saja melukai perasaanku kalau kamu mempoligami putriku."

Dikatakan pula bahwa Bani Hasyim bin Mughirah menyampaikan kepada Rasul, "Kami mohon izin kepadamu wahai Rasul, kami ingin menikahkan putriku dengan Ali bin Abi Thalib."

Kemudian Nabi SAW tidak memberi izin. Secara bahasa, menurut Kiai Mukti Ali, beliau SAW tidak memberi izin sama sekali. Lalu Nabi SAW berkata, "Anakku ini darah dagingku yang sudah aku didik. Kalau kamu melukai dia, maka sama saja melukaiku."

"Jadi Nabi tidak mengizinkan putrinya dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib dengan putri dari Bani Hasyim bin Mughirah," kata Kiai Mukti Ali.

Dikatakan lagi dalam hadits tersebut, bahwa Nabi SAW berkata kepada Ali, "Kalau kamu mencintai putrinya Bani Hasyim bin Mughirah, maka ceraikan dulu putriku. Baru silakan kamu menikah dengan putri Bani Hasyim bin Mughirah."

Kisah itulah yang menurut Kiai Mukti Ali, sering kali disembunyikan oleh para pria yang pro poligami. "Cerita seperti ini kadang bagi laki-laki yang kucing garong itu ditutup-tutupi," paparnya.

Kiai Mukti Ali juga menyampaikan, Rasulullah SAW bukan mengharamkan poligami. "Tapi ini menyiratkan bahwa poligami adalah sesuatu yang dibenci sebetulnya oleh Rasulullah. Dan poligami itu berpotensi besar menyakiti perempuan," ujarnya.

3. Semangat Alquran adalah Monogami

Alquran memang menyebut soal poligami, yakni sebagaimana tercantum dalam Surat An Nisa ayat 3. Namun, Kiai Mukti Ali mengatakan, para ulama berpandangan bahwa sebetulnya semangat Alquran adalah semangat monogami. "Hanya satu istri saja. Semangat Alquran itu monogami. Bukan semangat poligami," jelasnya.

Adapun bolehnya poligami itu hanya untuk solusi atas keadaan darurat dan ini pun harus atas izin istri. Keadaan darurat yang dimaksud, antara lain, istri menderita sakit sehingga tidak mampu memenuhi haknya sebagai istri.

"Atau berdasarkan kesepakatan karena istri tidak bisa punya anak, atau mandul. Tapi ini juga harus atas dasar izin istri. Sedangkan dalam situasi normal, tidak boleh poligami," tuturnya.

Kiai Mukti Ali juga memaparkan, Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari memang membolehkan poligami, tetapi pada praktiknya, Kiai Hasyim Asy'ari tidak melakukannya. Sesuatu yang mubah tidak boleh dianggap sunnah atau bahkan wajib.

KH Maimun Zubair (Mbah Moen), sebagaimana disampaikan oleh Kiai Mukti Ali, pernah mengatakan, kalau ada orang yang mengatakan poligami itu sunnah maka sama saja ingin mengatakan bahwa mereka selevel dengan Nabi Muhammad SAW.

"Maka soal poligami, adalah emergency. Bukan sesuatu yang harus dilakukan. Ini solusi di masa abnormal. Artinya, poligami bukan sesuatu yang dibolehkan dalam kondisi normal," terang Kiai Mukti Ali.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement