REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Talaq berasal dari bahasa Arab “Al-Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan (an-Nawawi, 267). Dalam terminologi syariat, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan (Munandar, 13).
Dengan kata lain, Talaq adalah istilah yang digunakan dalam Islam untuk menyatakan perceraian, atau berakhirnya hubungan pernikahan sepasang suami-istri. Menurut para ulama, hukum asal talaq sendiri terbagi atas empat yakni haram, sunnah, wajib, dan makruh.
Ketika pernikahan itu sudah tidak lagi mendatangkan ketentraman dan hanya diisi dengan ke maksyiatan seperti Kekerasan dalam rumah tangga, dan hal-hal buruk lainnya, maka meskipun perceraian ini tidak disukai Allah, namun kondisi pernikahan yang sudah tidak lagi sehat dibolehkan untuk diakhiri.
Tetapi haram hukumnya seorang suami mentalak istri yang sedang mengalami haid. Allah Swt berfirman:
إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن
"...Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar...." (QS. ath-Thalaaq ayat 1).
Maksudnya, jika Anda ingin menceraikan istri Anda dan Anda sudah membulatkan tekad untuk itu, maka ceraikanlah istri Anda saat dia dapat langsung menjalani masa iddahnya. Dan hal tersebut tidak bisa terjadi kecuali jika istri Anda sedang berada dalam kondisi suci (tidak sedang haid), agar masa haid pertama yang didapatinya sesudah diceraikan nanti dianggap sebagai quru' pertama dari ketiga quru' yang harus dijalaninya.
Imam Bukhari dan Muslim telah mengetengahkan hadits dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa dia (Ibnu Umar) pernah menceraikan istrinya di saat mengalami haid. Umar (ayah Ibnu Umar) lalu melaporkan kasus tersebut kepada Rasulullah Saw, dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkenan mendengar kasus tersebut. Selanjutnya, beliau bersabda (kepada Umar):
الله أن تطلق لها النساء.
"Tolong perintahkanlah kepadanya (Ibnu Umar) untuk merujuknya. Selanjutnya, perintahkan agar dia menahan (tidak menceraikan) istrinya hingga istrinya itu mengalami suci, lalu haid, lalu suci lagi.
Sesudah itu, jika dia tetap bersikukuh untuk menceraikan istrinya, silakan dia menceraikannya sebelum mencampurinya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah yang hendaknya seorang wanita diceraikan di masa tersebut."
Sekiranya seorang wanita ditalak di masa haidnya, maka talak tersebut dianggap sebagai "talak bid'ah". Talak yang demikian hukumnya haram dan pelakunya berdosa.
Pengaturan mengenai talak memiliki hikmah besar, yang disebabkan oleh dua faktor sebagai berikut:
1. Di masa haidnya, seorang wanita sebagaimana telah kita paparkan sebelumnya sedang mengalami berbagai perubahan dalam dirinya, baik secara jismiyyah (fisik) maupun nafsiyyah (psikis)nya. Semua itu bisa memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam tingkah lakunya, bahkan terkadang bisa jadi darinya timbul beberapa tindakan atau ketidaksetujuan terhadap beberapa tindakan yang jika telah berlalu masa haidnya, dia sendiri merasa tidak ridha.
Karenanya, Islam telah memperhatikan dengan saksama terhadap adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada wanita haid ini. Dan karenanya pula, Islam telah mewanti-wanti kepada para suami agar tidak mentalak istrinya di saat ia mengalami haid, sebab jika hal itu terjadi, bisa mengakibatkan timbulnya ekses yang tidak diharapkan.
2. Dalam masa haid itu sedang tidak terjadi sexual activity yang sempurna
antara suami-istri. Hal ini bisa memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap seorang suami dalam menilai istrinya. Sementara jika masa haid istri telah berlalu, rasa cinta dan kasih yang tadinya sempat mengendur akan menjadi menguat dan berada pada posisi yang normal kembali. Adapun jika istri telah suci dari haid, sementara suami belum mau mencampurinya dan memang berkeinginan untuk tetap mentalaknya, maka akan menjadi jelas bahwa keinginan suami untuk mentalak istrinya itu bukan karena pengaruh masa haid.
Sumber:
Fiqih Wanita Empat Mazhab karya Muhammad Utsman al-Khasyat