REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Alquran telah memberikan pencerahan tentang pemimpin. Salah hikmah tentang pemimpin yakni surat Al Baqarah ayat 124:
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
Wa iżibtalā ibrāhīma rabbuhū bikalimātin fa atammahunn(a), qāla innī jā‘iluka lin-nāsi imāmā(n), qāla wa min żurriyyatī, qāla lā yanālu ‘ahdiẓ-ẓālimīn(a).
Artinya: "(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Hamka dalam Tafsir Al Azhar Jilid 1 mengatakan banyak pelajaran yang diambil dari ayat tersebut. Menurut Hamka, Allah SWT akan memberikan jabatan yang mulia dari seseorang termasuk kepada Rasulnya setelah melalui ujian berat seperti yang dialami Nabi Ibrahim alaihissalam.
Allah SWT mengangkat Ibrahim sebagai imam bagi manusia setelah lulus melalui berbagai ujian di antaranya menentang ayahnya sendiri yang menyembah berhala. Imam, kata Hamka, ialah orang yang teladani baik berkenaan dengan agama, ibadah dan akhlak.
Dalam ayat tersebut, Ibrahim juga memohon agar jabatan imam diberikan kepada orang yang dipilih Allah SWT namun dari kalangan anak-cucunya.
Allah SWT mengabulkannya namun tak akan diberikan kepada anak cucunya yang zalim.
Menurut Hamka kebaikan budi pekerti, ketinggian agama dan kebaikan ibadah bukan karena keturunan. Mereka yang naik sebagai pemimpin yang mampu melewati ujian sebagaimana yang dialami Nabi Ibrahim alaihissalam.
Hamka mengatakan...