GenpOp.id -- Direktur PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik menguraikan beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia mampu membendung resisi yang terjadi di Inggris dan Jepang.
Jeffrey meyakini, resesi di kedua negara itu tidak mampu menggoyahkan investasi luar negeri yang masuk ke pasar modal Indonesia. Justru menurut dia, investor asing akan semakin tertarik berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Dengan catatan, Indonesia harus melakukan pendalaman pasar termasuk penambahan produk dan jasa. Inilah yang sedang dilakukan oleh pihak BEI, agar dari waktu ke waktu semakin kompetitif.
"Pasar kita semakin dalam sehingga dalam konteks ini investor asing itu lebih memilih Indonesia ketimbang berinvestasi di negara lain," kata Jeffrey, dikutip dari Republika.co.id, Senin (19/2/2024).
BEI Target Transaksi Harian Rp 12,25 triliun
Jepang dan Inggris memang sedang mengalami resesi. Dalam kondisi ini Jeffrey menekankan BEI tetap menargetkan rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) Rp 12,25 triliun. Hal tersebut tetap diharapkan bisa tercapai pada 2024.
Untuk mencapainya butuh kontribusi investor domestik. "Termasuk asing kita harapkan bisa memberikan kontribusi," kata Jeffrey.
Dia melanjutkan, BEI tidak memiliki antisipasi khusus terkait isu resesi tersebut. Meskipun begitu, Jeffrey memastikan bursa tetap memantau perkembangan global dan upaya untuk memanfaatkan kondisi tersebut.
Resesi Jepang dan Inggris tak Pengaruhi Indonesia
"(Resesi) nggak berpengaruh. Kita lihat sampai saat ini masih net in flow untuk perdagangan saham. Jadi tidak ada dampak negatif ya," ucap Jeffrey.
Dua perekonomian terbesar di dunia, Jepang dan Inggris mengalami resesi. Pada Kamis (15/2/2024) Tokyo dan London melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka negatif dua kuartal berturut-turut, sesuai definisi apa yang disebut resesi.
Kepala Ekonom UBS Global Wealth Management Paul Donovan pada Kamis pekan lalu mengatakan kontraksi ekonomi Jepang berkaitan dengan menyusutnya populasi.
Pada 2022, populasi Negeri Sakura turun 800 ribu, menandai penurunan populasi ke-14 kalinya berturut-turut.
Hal tersebut membatasi kemampuan Jepang untuk tumbuh karena. "Artinya semakin sedikit orang yang memproduksi dan mengkonsumsi barang atau jasa," kata Donovan. []