REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diserukan untuk tidak melakukan self-diagnosis (swadiagnosis) terhadap penyakit mental. Sebab, tidak ada satupun mesin pencarian (search engine) yang dapat memeriksa pasien secara detail.
"Tidak ada yang bisa menggantikan dengan bertemu langsung dengan psikiater untuk bisa membuat diagnosis. Apalagi self-treatment. Jadi hati-hati," ujar psikiater Santi Yuliani dalam acara bincang-bincang "Dikit-Dikit Ngerasa Kena Mental Illness" yang disiarkan Kementerian Kesehatan melalui akun Instagram resminya di Jakarta, Senin (19/2/2024).
Dokter Santi menjelaskan, orang melakukan swadiagnosis penyakit mental karena sejumlah alasan, termasuk stigma. Ketika seseorang menceritakan mereka memiliki penyakit jantung, misalnya, orang-orang sekitarnya bersikap suportif dan menyuruh mereka istirahat.
Lain halnya dengan keluhan depresi. Orang yang curhat soal depresi malah dianggap remeh dan dianggap tidak dapat menikmati hidup atau kurang bersyukur.
Bahkan, lanjut dr Santi, orang dengan penyakit mental dilihat sebagai orang gila. Dia menyebut bahwa ketika seseorang melakukan swadiagnosis dan menemukan kecenderungan bahwa dia mengalami gangguan mental, orang itu tak lantas ke psikiater, dan malah berusaha mengobati dirinya sendiri.
"Padahal, kalau kita cocokkan gejala ke search engine, belum tentu bisa tepat diagnosisnya. Jadi, tolong datang ke psikiater atau ke psikolog untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Hari ini udah nggak ada lah kita berpikir tentang stigma, ya," ujar dia.
Dokter Santi mengatakan, alasan lain orang melakukan swadiagnosis adalah takut dengan biaya konsultasi. Dia mengatakan, banyak orang yang berkomentar bahwa tidak perlu ke psikiater karena mahal dan hanya menghabiskan uang saja.
"Jadi ke psikiater itu bisa pakai BPJS. Gunakan BPJS-nya untuk bisa akses psikiater. Tidak hanya konsultasinya saja yang gratis, obatnya juga gratis. Misalnya perlu tindakan juga gratis," jelas dr Santi.