REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlambatan ekonomi global masih terasa sejak tahun lalu. Bahkan, Jepang dan Inggris mengalami resesi.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menjelaskan, resesi di Jepang dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Lalu dipengaruhi pula oleh tingginya ketergantungan Jepang terhadap ekspor.
"Sedangkan di UK (Inggris) dipengaruhi kenaikan harga energi dan kolapsnya sektor perumahan," ujarnya kepada Republika, Senin (19/2/2024). Ia melanjutkan, saat ini belum bisa memproyeksikan negara mana saja yang akan menyusul resesi.
Sementara, kata dia, perekonomian sejumlah negara mitra dagang Indonesia relatif aman. Hanya saja China masih terus melambat.
"Mitra dagang utama Indonesia relatif aman. Kecuali China yang terus mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi," jelas Riefky.
Sebelumnya, dilansir Reuters pada Jumat (16/2/2024), tercatat Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris mengalami penurunan sebesar 0,3 persen pada kuartal IV 2023. Sebelumnya, perekonomian negara yang dipimpin Raja Charles itu sudah menurun sebesar 0,1 persen pada kuartal III 2024.
Walau kini belum ada pengumuman resmi dari pemerintah Inggris soal resesi, namun negara tersebut sudah dapat dikatakan resesi. Itu karena, terus tumbuh negatif selama dua kuartal.
Dijelaskan, ada beberapa penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi Inggris. Di antaranya inflasi yang sangat tinggi dan suku bunga yang memengaruhi belanja konsumen.
Jatuhnya Inggris ke dalam resesi ini tentu dapat meningkatkan tekanan pada Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) agar segera menurunkan suku bunga. Para pengusaha Inggris juga sudah meminta bantuan dari pemerintah supaya bisa meningkatkan daya saing mereka.