Senin 19 Feb 2024 23:02 WIB

Israel Ancam Serangan Rafah pada Bulan Ramadhan

Kota di perbatasan Mesir adalah benteng terakhir yang tersisa di Gaza.

Rep: Mabruroh/ Red: Lida Puspaningtyas
Warga Palestina berjuang untuk membeli roti dari toko roti di Rafah, Jalur Gaza, Ahad, (18/2/2024).
Foto: AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina berjuang untuk membeli roti dari toko roti di Rafah, Jalur Gaza, Ahad, (18/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM — Israel telah mengancam akan menyerang Rafah pada awal Ramadhan. Ancaman tersebut dilakukan Israel untuk menekan Hamas agar mengembalikan sandera yang tersisa meskipun ada tekanan internasional untuk melindungi warga sipil Palestina yang berlindung di kota selatan Gaza itu.

Dengan prospek pembicaraan gencatan senjata yang redup, Amerika Serikat dan pemerintah lainnya, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah mengeluarkan seruan yang semakin mendesak kepada Israel untuk membatalkan serangan yang direncanakan di Rafah. Pemerintah Israel mengatakan kota di perbatasan Mesir adalah benteng terakhir yang tersisa di Gaza dari kelompok militan Palestina Hamas.

Baca Juga

Tetapi, Rafah juga menjadi tempat perlindungan bagi tiga perempat dari populasi Palestina yang terlantar akibat serangan tanpa henti tentara Israel di Gaza. Mereka telah melarikan diri ke Rafah, berlindung di perkemahan tenda tanpa akses ke makanan, air, atau obat-obatan yang memadai.

"Dunia harus tahu, dan para pemimpin Hamas harus tahu,  jika pada bulan Ramadhan sandera kita tidak ada di rumah, pertempuran akan berlanjut di mana-mana, termasuk daerah Rafah," kata Benny Gantz, seorang pensiunan kepala staf militer, mengatakan pada konferensi para pemimpin Yahudi Amerika di Yerusalem pada hari Ahad (18/2/2024).

“Hamas punya pilihan. Mereka dapat menyerah, membebaskan para sandera dan warga sipil Gaza dapat merayakan pesta Ramadhan,” tambah Gantz, dilasnir dari Alarabiya, Senin (19/2/2024). Bulan suci Ramadhan diperkirakan akan dimulai sekitar 10 Maret.

Gantz mengatakan, serangan akan dilakukan dalam koordinasi dengan mitra Amerika dan Mesir untuk "meminimalkan korban sipil sebanyak mungkin". Tetapi ke mana orang-orang Palestina dapat pergi setelah empat bulan perang telah meratakan sebagian besar Jalur tetap tidak jelas.

“Tidak ada tempat yang aman. Bahkan rumah sakit tidak aman," kata Ahmad Mohammed Aburizq kepada AFP dari kamar mayat rumah sakit Rafah di mana para pelayat berkumpul di sekitar orang yang dicintai yang dibungkus dengan kantong mayat putih.

"Itu sepupu saya, dia menjadi martir di Al Mawasi, di 'area aman'. Dan ibuku menjadi martir sehari sebelumnya."

Selama berminggu-minggu, mediator internasional telah berusaha untuk menengahi kesepakatan gencatan senjata untuk sandera yang akan menghentikan pertempuran selama enam minggu. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengecilkan kemungkinan terobosan yang akan datang, menyebut tuntutan Hamas sebagai delusi.

Bahkan jika kesepakatan tercapai, dia bersikeras kampanye untuk melenyapkan Hamas dari Gaza tidak akan selesai sampai membersihkan Rafah. "Kesepakatan atau tidak ada kesepakatan, kita harus menyelesaikan pekerjaan untuk mendapatkan kemenangan total," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement