Selasa 20 Feb 2024 12:00 WIB

Menlu RI Dorong Isu Perempuan Afghanistan Diprioritaskan 

Perlakuan Taliban terhadap perempuan di Afghanistan termasuk apartheid.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Setyanavidita livicansera
Anak perempuan dan perempuan Afghanistan membawa bantuan sumbangan ke tenda mereka, setelah gempa bumi di distrik Zenda Jan, (12/10/2023).
Foto: AP Photo/Ebrahim Noroozi, File
Anak perempuan dan perempuan Afghanistan membawa bantuan sumbangan ke tenda mereka, setelah gempa bumi di distrik Zenda Jan, (12/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri RI Retno menghadiri Meeting of the Special Envoys on Afghanistan yang digelar di Doha, Qatar, Senin (19/2/2024). Pada kesempatan itu, Retno mengusulkan agar isu perempuan terus diangkat dalam keterlibatan komunitas internasional dengan Taliban yang kini memerintah Afghanistan.

Retno mengungkapkan, merujuk pada laporan UN Women, sejak kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, Taliban menerbitkan 50 dekret yang mengikis hak-hak perempuan. Meski terdapat tekanan internasional, dekret-dekret itu tak dicabut Taliban hingga kini.

Baca Juga

“Indonesia menyarankan bahwa isu perempuan harus terus disertakan sebagai salah satu prioritas dalam engagement komunitas internasional dengan Taliban. Dalam isu ini, penting bagi PBB untuk terus melakukan koordinasi dengan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam),” kata Retno dalam keterangannya kepada media, Selasa (20/2/2024).

Dalam pertemuan di Doha, Retno turut menyampaikan hal apa saja yang dilakukan Indonesia untuk membantu perempuan Afghanistan. Pertama, pemberian beasiswa. Inisiatif tersebut telah didukung beberapa negara, antara lain Jepang, Norwegia, Belanda, Inggris, dan Kanada. “Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Qatar untuk memberikan beasiswa kepada warga Afghanistan,” ucap Retno.

Indonesia, menurut Retno, juga memberikan pembangunan kapasitas mengenai literasi keuangan kepada perempuan Afghanistan. “Saat ini Indonesia sedang melakukan pembicaraan untuk membahas pengembangan kurikulum madrasah,” ujarnya.

Pertemuan di Doha dihadiri negara-negara yang selama ini aktif dalam isu Afghanistan. Indonesia adalah satu-satunya negara dari Asia Tenggara yang berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Sementara dari Asia, terdapat beberapa negara lain yang ikut terlibat, antara lain Cina, Jepang, Pakistan, dan negara-negara yang berbatasan dengan Afghanistan.

Taliban berhasil menguasai kembali Afghanistan pada Agustus 2021. Namun hingga kini, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan mereka. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan Taliban yang tak memenuhi hak-hak kaum perempuan di negara tersebut.

Hal itu pula yang membuat banyak negara dan lembaga internasional yang memangkas atau menangguhkan bantuan mereka untuk Afghanistan. Pada Juni tahun lalu Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan Richard Bennett mengatakan, perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. Hal itu karena Taliban mengekang hak-hak dasar mereka.

Kehidupan perempuan Afghanistan saat ini memang dikekang oleh Taliban. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember 2022.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum.

Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement