REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Deddy Yevri Sitorus, menyebut adanya perintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghentikan proses penghitungan suara Pemilu 2024 di tingkat kecamatan. Ia mengaku khawatir dengan adanya perintah tersebut.
Sebab, hal tersebut memunculkan dugaan adanya upaya tersistematis mengakali suara hasil Pemilu 2024. Salah satunya demi mengakali agar salah satu partai politik yang dekat dengan Istana lolos ambang batas parlemen.
"Ada informasi di daerah bahwa KPU Pusat memerintahkan penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. yang mana hal itu tak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan Komisi II DPR," ujar Deddy kepada wartawan, Selasa (20/2/2024).
Penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, asalkan dengan syaratnya dalam kondisi kegentingan memaksa atau force majeure. Maksud kondisi force majeure adalah seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.
"Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah, rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual," ujar Deddy.
Jika alasan force majeure memang benar adanya, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak. Karena tidak ada alasan yang jelas dari KPU, wajar jika publik curiga dengan perintah KPU tersebut.
Salah satu informasi yang diterimanya, perintah tersebut berkaitan dengan jumlah suara PDIP dan Partai Golkar. Sebab, posisi teratas akan mempunyai peluang besar untuk mengisi posisi Ketua DPR.
"Terkait jumlah kursi, itu kaitannya dengan sebaran suara yang menghasilkan kursi. Ada peluang kecil Golkar bisa didorong mendapat jumlah kursi terbanyak," ujar Deddy.