REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah Israel menyebut sidang dengar pendapat di Mahkamah Internasional (ICJ) tentang status dan konsekuensi hukum pendudukan Israel atas Palestina sebagai sirkus media. Tel Aviv menuduh Palestina melontarkan tuduhan-tuduhan palsu terhadapnya.
“Pengadilan (ICJ) harus menahan diri untuk tidak berpartisipasi dalam sirkus media ini dan memutuskan Palestina harus kembali ke kerangka hukum yang ada untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi langsung antara para pihak,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Israel dalam sebuah pernyataan, Senin (19/2/2024), dilaporkan Anadolu Agency.
Israel pun menuduh Palestina menolak proses penyelesaian konflik lewat negosiasi langsung. “(Palestina) berusaha mengubah konflik yang seharusnya diselesaikan melalui negosiasi langsung dan tanpa pemaksaan eksternal menjadi proses hukum yang sepihak dan tidak tepat yang dirancang untuk mengadopsi narasi ekstremis serta menyimpang,” ungkap Kemenlu Israel.
Belum ada komentar dari Palestina terkait pernyataan Israel. Pada Senin lalu, ICJ, yang berbasis di Den Haag, Belanda, membuka sidang dengar pendapat tentang status dan konsekuensi hukum pendudukan Israel atas Palestina. Selama sepekan persidangan, perwakilan 53 negara, termasuk dari Indonesia, akan menyampaikan pendapat dan pernyataan lisan mereka mengenai isu tersebut. Sementara Israel dilaporkan tidak mengutus perwakilannya ke persidangan. Namun Tel Aviv dilaporkan sudah mengirimkan observasi tertulis kepada panel hakim ICJ.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki telah memberi pernyataan lisannya pada Senin lalu. Dia menegaskan, mengakhiri impunitas Israel adalah sebuah keharusan moral, politik, dan hukum. “Satu-satunya solusi yang sesuai dengan hukum internasional adalah mengakhiri pendudukan ilegal ini dengan segera, tanpa syarat dan total,” kata al-Maliki, dikutip laman Middle East Monitor.
Dia pun mengangkat perkembangan situasi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. “2,3 juta warga Palestina di Gaza, setengah dari mereka adalah anak-anak, dikepung dan dibom, dibunuh dan menjadi cacat, kelaparan dan kehilangan tempat tinggal,” ujarnya.
“Lebih dari 3,5 juta warga Palestina di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem, menjadi sasaran penjajahan wilayah mereka dan kekerasan rasis yang memungkinkan terjadinya penjajahan. Genosida yang terjadi di Gaza adalah akibat dari impunitas dan kelambanan tindakan selama beberapa dekade. Mengakhiri impunitas Israel adalah sebuah keharusan moral, politik dan hukum,” ujar al-Maliki.
Sementara itu pengacara internasional yang mewakili Palestina, Paul Reichler, menyoroti peta “Timur Tengah Baru” yang dibuat oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam peta tersebut, wilayah Palestina menjadi bagian dari Israel. “Tidak dapat disangkal, di bawah payung pendudukan militernya yang berkepanjangan, Israel terus-menerus mencaplok wilayah Palestina yang diduduki dan terus melakukan hal tersebut. Tujuannya yang tidak terselubung adalah pengambilalihan wilayah ini secara permanen dan pelaksanaan kedaulatan atas wilayah tersebut yang bertentangan dengan larangan pengambilalihan wilayah dengan kekerasan,” ujar Reichler.
Reichler mengatakan, para pejabat Israel telah mengakui niat mereka untuk menguasai seluruh wilayah Palestina. “Bagi Israel, tidak ada Palestina, Palestina tidak ada,” ucapnya.
Pada 31 Desember 2022, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi untuk meminta pendapat ICJ tentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Resolusi itu didukung 87 negara. Sebanyak 24 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), menentang. Sementara 53 negara lainnya memilih abstain.
Dalam resolusi yang diadopsi, Mahkamah Internasional diminta menentukan konsekuensi hukum dari pelanggaran berkelanjutan Israel terhadap rakyat Palestina. Termasuk terkait tindakan Israel yang bertujuan mengubah komposisi demografis, karakter, dan status kota Yerusalem.
Resolusi juga meminta ICJ memberi nasihat tentang bagaimana kebijakan dan praktik tersebut mempengaruhi status hukum pendudukan. Selain itu, ICJ turut diminta menilai konsekuensi hukum apa yang timbul bagi semua negara dan PBB dari status tersebut.