REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG – Duta Besar Afrika Selatan (Afsel) untuk Belanda Vusimuzi Madonsela memberikan pernyataan lisan dalam sidang dengar pendapat tentang konsekuensi hukum pendudukan Israel atas Palestina yang digelar di Mahkamah Internasional (ICJ), Den Haag, Belanda, Selasa (20/2/2024). Pada kesempatan itu, dia menekankan, sistem apartheid Israel di wilayah Palestina lebih ekstrem dibandingkan yang pernah dialami Afsel.
“Kami sebagai warga Afsel merasakan, melihat, dan mendengar secara mendalam kebijakan serta praktik diskriminatif tidak manusiawi yang dilakukan rezim Israel sebagai bentuk apartheid yang lebih ekstrem yang dilembagakan terhadap warga kulit hitam di negara saya,” ujar Madonsela kepada panel hakim ICJ, dikutip laman Al Arabiya.
Dia menambahkan, telah jelas bahwa pendudukan ilegal Israel merupakan pelanggaran terhadap kejahatan apartheid. “Hal ini tidak dapat dibedakan dari kolonialisme pemukim. Apartheid Israel harus diakhiri,” ucap Madonsela.
Madonsela menekankan, sebagai pihak yang pernah mengalami apartheid, Afsel memiliki kewajiban khusus untuk menyerukan dan memastikan apartheid, di mana pun hal itu berlangsung, diakhiri. Bulan lalu, ICJ diketahui telah menerbitkan putusan pendahuluan dalam kasus dugaan genosida Israel di Jalur Gaza. Afsel adalah negara yang membawa kasus itu ke ICJ.
Pada Senin (19/2/2024) lalu, ICJ membuka sidang dengar pendapat tentang status dan konsekuensi hukum pendudukan Israel atas Palestina. Selama sepekan persidangan, perwakilan 53 negara, termasuk dari Indonesia, akan menyampaikan pendapat dan pernyataan lisan mereka mengenai isu tersebut. Sementara Israel dilaporkan tidak mengutus perwakilannya ke persidangan.
Namun Tel Aviv dilaporkan sudah mengirimkan observasi tertulis kepada panel hakim ICJ. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki telah memberi pernyataan lisannya pada Senin lalu. Dia menegaskan, mengakhiri impunitas Israel adalah sebuah keharusan moral, politik, dan hukum. “Satu-satunya solusi yang sesuai dengan hukum internasional adalah mengakhiri pendudukan ilegal ini dengan segera, tanpa syarat dan total,” kata al-Maliki, dikutip laman Middle East Monitor.
Dia pun mengangkat perkembangan situasi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. “Sekitar 2,3 juta warga Palestina di Gaza, setengah dari mereka adalah anak-anak, dikepung dan dibom, dibunuh dan menjadi cacat, kelaparan dan kehilangan tempat tinggal,” ujarnya.
“Lebih dari 3,5 juta warga Palestina di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem, menjadi sasaran penjajahan wilayah mereka dan kekerasan rasis yang memungkinkan terjadinya penjajahan. Genosida yang terjadi di Gaza adalah akibat dari impunitas dan kelambanan tindakan selama beberapa dekade. Mengakhiri impunitas Israel adalah sebuah keharusan moral, politik dan hukum,” tambah al-Maliki.
Pada 31 Desember 2022, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi untuk meminta pendapat ICJ tentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Resolusi itu didukung 87 negara. Sebanyak 24 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), menentang.
Sementara 53 negara lainnya memilih abstain. Dalam resolusi yang diadopsi, Mahkamah Internasional diminta menentukan konsekuensi hukum dari pelanggaran berkelanjutan Israel terhadap rakyat Palestina. Termasuk terkait tindakan Israel yang bertujuan mengubah komposisi demografis, karakter, dan status kota Yerusalem.
Resolusi juga meminta ICJ memberi nasihat tentang bagaimana kebijakan dan praktik tersebut mempengaruhi status hukum pendudukan. Selain itu, ICJ turut diminta menilai konsekuensi hukum apa yang timbul bagi semua negara dan PBB dari status tersebut.