REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus perundungan (bullying) di sekolah elit di Serpong, Tangerang Selatan, melibatkan anak-anak pesohor yang melakukan perploncoan terhadap korban bully. Menurut Psikolog Klinis, Hersa Aranti, M.Psi., Psikolog, ada alasan mengapa banyak remaja rela diplonco untuk masuk geng, walaupun itu bersifat kekerasan.
"Untuk alasannya utamanya karena orang-orang yang mau diplonco dan bisa lolos dari plonco ekstrem itu sering kali diasosiasikan dengan sifat-sifat tertentu, misalnya wah berarti dia kuat, dia kompak, dia berani, dia punya nyali dan sebagainya," kata Hersa melalui pesan elektronik, Rabu (21/2/2024).
Orang-orang ini kemudian mengeksklusifkan diri, membuat kelompok yang cukup eksklusif untuk mereka. Dalam kelompok tersebut biasanya tidak bisa sembarang orang masuk.
"Di kehidupan sosial biasanya secara natural seperti menempati hirarki yang tinggi karena dianggapnya 'wah ini sekumpulan orang-orang yang kompak, bisa berani ngelakuin apa aja, yamg akan saling back up, jadi jangan macem-macem deh ibaratnya sepertu itu," kata Hersa yang juga Co Founder SADARI.
Umumnya, anak rela diplonco untuk ajang kekuatan demi masuk geng. Selain itu, sebagai bentuk kebersamaan satu rasa melalui hal, cobaan dan ujian yang sama. Sehingga nanti akhirnya akan menimbulkan solidaritas.
Akan tetapi cara untuk mencapai solidaritas dengan perploncoan tersebut dinilai bisa lebih banyak menimbulkan efek negatif dibandingkan positifnya terhadap anak. Kepribadian anak yang terbentuk bisa cenderung sadistis, agresif, kasar, kurang empati dan menghalalakan segala cara.
Pada intinya di fase remaja memang sedang mencari identitas dan reputasi diri. Tetapi masih banyak cara lebih positif untuk remaja membangun reputasi, seperti mengikuti Osis, ekstrakurikuler, menjadi panitia acara dam sebagainya. Dalam hal ini, dibutuhkan pula peran orang tua dan guru untuk memantau anak dan remaja melewati fase mereka mencari reputasi diri.