Kamis 22 Feb 2024 12:42 WIB

Ini Alasan Peneliti BRIN Yakin Fenomena Angin Kencang di Rancaekek adalah Tornado

"Itu jelas tornado,” kata Erma Yulihastin.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Warga bersama petugas dari unsur terkait berupaya membereskan bangunan dan pohon-pohon tumbang akibat angin puting beliung yang terjadi di Jalan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Kamis (22/2/2024). Menurut Pakar klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, angin kencang yang merusak banyak bangunan di Rancaekek  diduga jenis badai tornado.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Warga bersama petugas dari unsur terkait berupaya membereskan bangunan dan pohon-pohon tumbang akibat angin puting beliung yang terjadi di Jalan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Kamis (22/2/2024). Menurut Pakar klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, angin kencang yang merusak banyak bangunan di Rancaekek diduga jenis badai tornado.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut angin kencang yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat, sebagai tornado karena melihat bukti-bukti berdasarkan dokumentasi publik. Menurut dia, yang bukti paling jelas ada pada skala meso yang lebih dari 2 km, yang membuat lima kecamatan terdampak oleh fenomena tersebut.

“Yang penting ini sudah masuk skala meso. Kalau skalanya mikro, baru bukan tornado. Tornado itu skala meso, meso itu di atas 2 km, itu saja. Nah kalau lima kecamatan terdampak, masak itu skala mikro?” jelas Erma kepada Republika, Kamis (22/2/2024).

Baca Juga

Dia menjelaskan, untuk melihat fenomena itu, ada dua jenis dokumentasi yang sangat berhargap dalam riset, yakni dokumentasi publik dan dokumentasi saintifik. Saat ini, kata dia, dokumentasi publik sudah bisa didapatkan berdasrakan foto-foto dan video yang diunggah oleh publik di media sosial dan juga berita media massa.

“Dokumentasi visual dan publik itu sudah kita dapatkan, termasuk dampak itu dokumentasi paling berharga dalam riset. Kita akan rekonstruksi dari dampak-dampak itu kan. Dokumentasi saintifik itu butuh simulasi, itu belum kita lakukan,” terang dia.

Dia mengungkapkan, pergerakan awan tornado di Rancaekek terdeteksi di citra satelit awan Himawari. Menurut dia, satelit tersebut mendeteksi keberadaan awan tersebut dari yang sebelumnya ada, kemudian muncul, hingga muncul pusaran. Pusaran semacam itu tidak akan ada apabila awan itu hanya awan biasa.

“Itu muncul, muter. Kalau dia hanya awan biasa, nggak ada pusarannya, berarti itu microscale gitu kan. Skala mikro kita biasanya sebut dust devil, angin setan kalau di luar negeri misalnya,” tutur dia.

Dia menerangkan, suatu fenomena angin kencang dapat dikatakan tornado apabila memenuhi sejumlah kriteria. Pertama, kecepatan angin maksimumnya harus mencapai minimal 67 km/jam atau 8 skala Beaufortnya, skala untuk mengukur kecepatan angin.

“Kemudian yang kedua radiusnya, radius putarnya kan harus lebih dari 2 km sehingga fenomena itu kita anggap fenomena yang meso. Tornado itu fenomena meso, karena lebih dari 2 km,” jelas Erma.

Berdasarkan kriteria itu pihaknya menyebut fenomena di Rancaekek dan sekitarnya itu sebagai tornado. Terlebih dengan melihat dampak dari fenomena tersebut yang merusak bangunan di lima kecamatan. Dia menegaskan, dia menyatakan hal itu mengacu bukti-bukti yang dikumpulkan publik dan dikirimkan kepadanya.

“Itu bisa dilihat dari dampaknya. Dampak yang terkena, yang rusak itu lima kecamatan loh. Bukan cuma 1-2 rumah gitu. Ini lima kecamatan, Anda bisa cek masyarakat. Itu jelas tornado,” terang dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement