REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan sengketa terkait hasil pemilu tidak bisa diselesaikan melalui hak angket DPR. Menurutnya penyelesaian sengketa pemilu tetap bisa dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hak angket itu ya untuk membuktikan apakah ada kecurangan netralitas pemerintah memanipulasi pemilu misalkan. Itu bisa melalui hak angket. Apalagi kalau ada indikasi melakukan perbuatan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," kata Yance dalam diskusi bertajuk 'Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia?' di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (23/2/2024).
Namun demikian hak angket dinilai tetap perlu dilakukan untuk menunjukkan seberapa besar dugaan kecurangan pemilu dapat dibuktikan. Menurutnya upaya penyelidikan melalui hak angket dengan penyelesaian sengketa di MK merupakan dua hal yang berbeda.
"Menurut saya sih bagus juga dilakukan hak angket itu karena di hitungan-hitungan nggak akan sampai ke impeachment juga. Tapi hak angket itu bisa menjadi satu mekanisme kita untuk mengevaluasi pemilu ini," ujarnya.
Yance lebih lanjut menjelaskan bahwa hak angket merupakan satu dari tiga hak pengawasan yang dimiliki DPR. Hak angket bisa dilakukan jika diusulkan oleh 25 anggota DPR dari lebih dari dua fraksi.
"Nanti baru bisa dilakukan angket kalau disetujui setengah dari anggota DPR. Anggota DPR sekarang 575 artinya dia bisa dijalankan kalau didukung oleh 288," ujarnya.
Selain itu, Yance menuturkan salah satu kelebihan hak angket yakni bisa memanggil secara paksa pihak terkait. Sehingga dalam panitia angket bisa kemudian memanggil menteri, KPU, hingga Bawaslu.
"Jadi itu kelebihan hak angket. Jadi sudah mirip-mirip kaya polisi dia nih DPR-nya bisa melakukan upaya paksa dibantu polisi," tuturnya.