REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan suhu air laut yang mencapai rekor telah membunuh lebih dari tiga perempat karang yang dibudidayakan oleh para ilmuwan di Florida Keys dalam beberapa tahun terakhir, sebagai upaya untuk menopang spesies yang terancam punah dan rentan terhadap perubahan iklim. Temuan ini berdasarkan pada studi terbaru dari National Oceanic and Atmospheric Administration.
Pada pekan lalu, para peneliti melakukan penyelaman ke tempat di mana mereka membudidaya terumbu karang staghorn dan elkhorn -keduanya termasuk dalam daftar spesies karang yang terancam punah. Para peneliti menganalisis bagaimana terumbu karang tersebut dapat bertahan hidup pada suhu air 30 derajat Celcius yang berkepanjangan pada musim panas dan gugur tahun lalu.
Hasilnya, kebanyakan dari terumbu tersebut tidak bisa bertahan hidup. Para peneliti menyaksikan kematian yang meluas pada karang yang direstorasi dan karang liar di lima terumbu Florida Keys.
Para ilmuwan menyalahkan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, dengan dorongan dari El Nino alami, yang membuat air terlalu panas bagi karang yang rapuh. Setelah mencoba menyelamatkan karang selama musim panas lalu, ini adalah musim dingin pertama para ilmuwan untuk melihat apa yang bertahan.
Hanya 22 persen dari 1.500 karang staghorn yang dihuni kembali yang mereka survei masih hidup, kata NOAA. Lalu hanya sekitar 5 persen dari 1.000 karang elkhorn yang ditanam kembali yang masih hidup.
“Di Looe Key, terumbu paling selatan yang kami lihat, kami tidak menemukan karang elkhorn atau staghorn yang hidup," kata ahli biologi karang Katey Lesneski, koordinator penelitian dan pemantauan untuk NOAA Mission: Iconic Reefs.
"Melihat ini sangat mengerikan. Selain memikirkan manfaat ekonomi dan ekologi yang diberikan terumbu karang dan karang-karang ini, ada juga hilangnya keindahan intrinsik yang membuat banyak orang datang ke Keys untuk melihat dan merasakannya. Dan menerima kehilangan hal itu juga sangat menyedihkan,” kata Lesneski seperti dilansir AP, Jumat (23/2/2024).
Biasanya, karang-karang ini berwarna merah, oranye, tan dan coklat. Namun, apa yang dilihat Lesneski dan peneliti lain ketika mereka menyelam adalah karang mati dengan ganggang hijau kecoklatan yang menempel di rangka tak bernyawa.
“Populasi staghorn dan elkhorn tidak hanya berkurang drastis sehingga masuk dalam daftar terancam punah, namun juga juga penting bagi komunitas luas berbagai jenis karang karena mereka adalah pembangun kerangka yang menyediakan kerangka struktural untuk habitat karang,” jelas Lesneski.
Di lima terumbu yang dikunjungi tim, mereka memang melihat beberapa karang liar yang hidup dan sehat. Karang otak atau bongkahan batu tampaknya lebih baik, tetapi masih banyak yang mati, lapor Lesneski.
Proyek gabungan federal-swasta ini disebut menghabiskan 97 juta dolar AS untuk menempatkan spesies karang yang tumbuh di darat atau di pembibitan laut di tujuh lokasi. NOAA mengukur suhu air di lokasi penanaman mencapai 34 derajat Celcius dan bahkan lebih di beberapa titik. Menurut NOAA, suhu tersebut terlalu panas.
"Apa yang terjadi pada tahun 2023 benar-benar menghancurkan. Suhu panas yang terjadi diluar dugaan sebelumnya,” kata pensiunan kepala pemantau terumbu karang NOAA, Mark Eakin, yang sekarang menjabat sebagai sekretaris untuk International Coral Reef Society.
Awal bulan ini, NOAA merevisi sistem peringatan terumbu karang untuk menambahkan kategori tekanan panas tingkat tinggi yang lebih tinggi karena perubahan iklim yang semakin parah. Ini setara dengan menambahkan Kategori 6 untuk badai, kata Lesneski.
Eakin dan ahli biologi karang University of Victoria, Julia Baum, mengatakan bahwa hal ini menimbulkan kekhawatiran yang wajar mengenai upaya untuk restorasi terumbu karang dengan mengembalikan karang ke dalam air yang terlalu panas.
"Restorasi terumbu karang hampir pasti akan gagal karena perubahan iklim. Mencoba restorasi karang di lautan yang panas saat ini seperti mencoba memperbaiki rumah yang masih terbakar. Lautan kita sekarang sangat panas untuk karang dan terus memanas karena perubahan iklim," kata Baum.
Lesneski mengatakan bahwa dia memahami kekhawatiran itu dan para peneliti sedang mencari tahu apa yang dapat mereka lakukan untuk mengembangbiakkan karang yang lebih tahan panas.
"Harus ada pengurangan global dalam emisi yang berasal dari bahan bakar fosil, perubahan kebijakan yang besar. Tetapi untuk saat ini, jika kita ingin mendapatkan manfaat ekonomi atau ekologi dari terumbu karang, kita harus melakukan yang terbaik untuk melestarikan dan merestorasi semampu kita,” kata Lesneski.