REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 686 tempat pemungutan suara (TPS). Sebanyak 686 TPS itu tersebar di 38 provinsi Indonesia.
Pelaksanaan PSU di 686 TPS itu masih belum sinkron dengan rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Pasalnya, Bawaslu memberikan rekomendasi untuk PSU di 780 TPS.
Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, adanya perbedaan data pelaksanaan PSU dengan rekomendasi Bawaslu dikarenakan pihaknya masih melakukan pendataan. "Kami saat ini masih mengonsolidasikan data, sehingga data yang bisa kami sampaikan baru sebanyak 686 untuk pemungutan suara ulang," kata dia saat konferensi pers di Media Center KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (23/2/2024).
Ia menambahkan, pihaknya telah memerintahkan kepada jajawan KPU provinsi dan kabupaten/kota untuk menindaklanjuti rekomendasi PSU dari Bawaslu. Apabila ada rekomendasi Bawaslu, jajarannya diminta melakukan kajian.
"Sebaiknya dilakukan kajian teknis dan hukum yang benar. Kalau sekiranya emmang rekomendasi itu akurat, faktual, maka laksankan," kata Idham.
Namun, ketika hasil kajian yang dilakukan jajarannya tidak sesuai dengan rekomendasi, hasil kajian itu harus disampaikan kepada Bawaslu. Pasalnya, Bawaslu adalah pihak yang menerbitkan rekomendasi tersebut.
Idham menjelaskan, terdapat beberapa alasan PSU harus dilakukan. Berdasarkan Pasal 372 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PSU di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawasan terbukti terdapat keadaan beberapa keadaan.
Pertama, pembukaan kotak suara dan atau berkas pemungutan pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang tidak tepat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, petugas KPPS meminta pemilik memberikan tanda khusus, menandai atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang disalahgunakan.
Alasan terakhir, petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih, sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau pemilih yang tidak memiliki KTP-el dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb).
"Itulah penyebab dilaksanakannya pemungutan suara ulang," kata Idham.