Selasa 27 Feb 2024 12:12 WIB

Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Mental, Picu Gangguan Kecemasan Hingga Bunuh Diri

Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental, terutama anak-anak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Perubahan iklim merupakan ancaman khusus bagi anak-anak dan remaja terkait kesehatan mental.
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim merupakan ancaman khusus bagi anak-anak dan remaja terkait kesehatan mental.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim merupakan ancaman khusus bagi anak-anak dan remaja, dimulai sebelum kelahiran dan berpotensi menggagalkan perkembangan normal sistem fisiologis, kemampuan kognitif, dan keterampilan emosional dengan cara yang terkadang tidak dapat dipulihkan. Demikian menurut laporan yang dikeluarkan oleh American Psychological Association (APA) dan ecoAmerica.

Dampak akut dari perubahan iklim, seperti bencana cuaca, dapat menyebabkan trauma dan gangguan stres pascatrauma dalam jangka pendek, dan banyak tantangan kesehatan mental jangka panjang jika tidak ada intervensi yang tepat, kata laporan tersebut. Anak-anak lebih rentan karena ketergantungan mereka kepada orang tua dan pengasuh lainnya untuk mendapatkan dukungan.

Baca Juga

"Jika tanggung jawab kita untuk memastikan iklim yang aman dan masa depan, yang berkembang bagi anak-anak kita dan generasi mendatang tidak cukup jelas, laporan ini memperjelasnya. Harapan saya, semua orang yang peduli terhadap anak-anak-terutama para pembuat kebijakan dapat mendengarkan laporan ini," kata Meighen Speiser, direktur eksekutif ecoAmerica dan salah satu penulis laporan tersebut, dilansir APA, Selasa (27/2/2024).

Menurut laporan tersebut, daftar kemungkinan masalah kesehatan mental yang terkait dengan perubahan iklim semakin bertambah seiring bertambahnya usia anak-anak. Dan populasi anak-anak tertentu bahkan lebih rentan karena kemiskinan, rasisme, gender, disabilitas, dan faktor lainnya.

Berikut ini adalah beberapa temuan penelitian terbaru yang meneliti dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental.

1. Kekerasan berbasis gender

Pada tahun 2022, para peneliti di University of Cambridge menganalisis 41 studi yang mengeksplorasi beberapa jenis peristiwa cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan. Mereka menemukan bahwa kekerasan berbasis gender tampaknya diperburuk oleh peristiwa cuaca dan iklim ekstrem. Faktor-faktor yang berkontribusi termasuk guncangan ekonomi, ketidakstabilan sosial, lingkungan yang mendukung, dan stres.

 

2. Gangguan stres pascatrauma (PTSD)

Para penyintas Camp Fire 2018, salah satu kebakaran hutan paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah California, memiliki tingkat PTSD yang setara dengan para veteran perang, dan mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan, menurut sebuah studi tahun 2021 dari University of California-San Diego. Penyintas badai dan banjir juga mengalami tingkat depresi dan PTSD yang serupa.

 

3. Bunuh diri

Dampak ekonomi dari kekeringan menyebabkan peningkatan angka bunuh diri, terutama di kalangan petani. Lebih lanjut, penulis studi tahun 2018 di jurnal Nature memperkirakan suhu yang lebih hangat dapat menyebabkan sebanyak 40.000 kasus bunuh diri tambahan di Amerika Serikat dan Meksiko pada tahun 2050.

 

4. Perilaku agresif

Suhu yang lebih tinggi menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Sebuah studi tahun 2021 yang diterbitkan dalam Journal of Public Economics menemukan bahwa kejahatan dengan kekerasan di Los Angeles meningkat 5,7 persen pada hari-hari ketika suhu naik di atas 29 derajat Celcius dibandingkan dengan hari-hari yang lebih dingin.

 

5. Kecemasan

Bahkan beberapa orang Amerika yang tidak terkena dampak langsung dari bencana iklim mengalami kecemasan iklim - rasa takut, sedih, dan ketakutan yang luar biasa dalam menghadapi planet yang memanas atau kecemasan dan kekhawatiran tentang perubahan iklim dan dampaknya. Survei APA tahun 2020 menemukan bahwa 56 persen orang dewasa di Amerika Serikat menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan isu terpenting yang dihadapi dunia saat ini. Hampir setengah dari orang dewasa muda berusia 18 hingga 34 tahun mengatakan bahwa mereka merasa stres karena perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas bagaimana solusi untuk mendukung kesehatan mental anak dan remaja? Menurut APA, perlu ada solusi tingkat sistem untuk mengatasi perubahan iklim dari akarnya. Kemudian, solusi komunitas untuk meningkatkan ketahanan dan meningkatkan akses ke perawatan kesehatan mental. Ketiga, dukungan berbasis sekolah dan kesempatan langsung untuk bertindak.

“Perlu juga ada skrining oleh tenaga kesehatan profesional untuk mengidentifikasi tekanan terkait iklim dan intervensi pengobatan. Serta dukungan orang tua, untuk mengajari anak-anak mereka tentang perubahan iklim, mengelola ketakutan mereka, menemukan harapan, mengambil tindakan yang sesuai dengan usia mereka, dan memupuk kemampuan mereka untuk bertahan,” kata APA dalam laporannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement