Selasa 27 Feb 2024 14:42 WIB

Badan Pangan: Bantuan Beras Bukan Penyebab Kelangkaan

Kebutuhan beras nasional setiap bulannya di angka 2,5 juta-2,6 juta ton.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas melayani warga membeli bahan kebutuhan pokok saat bazar pasar murah di Kantor Kecamatan Pancoran, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas melayani warga membeli bahan kebutuhan pokok saat bazar pasar murah di Kantor Kecamatan Pancoran, Jakarta, Senin (26/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi menegaskan, program bantuan pangan beras yang digulirkan bukan penyebab kenaikan harga dan kelangkaan beras. Menurut Arief, bantuan pangan beras kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) memiliki pos tersendiri langsung dari Bulog dan tidak menyerap stok di pasaran.

"Kalau sekarang bantuan pangan (dibilang) menghabiskan beras nasional, nggak, itu posnya sendiri. Itu langsung dari Bulog tidak menyerap di panen lokal," ujar Arief kepada wartawan di Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).

Baca Juga

Arief menyebutkan, harga beras yang mengalami kenaikan terjadi karena produksi lokal yang menurun. Ia menyebutkan, panen lokal pada awal 2024 ini hanya di bawah 1 juta ton. Sedangkan, kebutuhan beras nasional setiap bulannya di angka 2,5 juta-2,6 juta ton.

Sebaliknya, kata dia, bantuan pangan beras dimaksudkan untuk membantu daya beli masyarakat ekonomi ke bawah di tengah lonjakan harga beras. Bantuan beras terus digulirkan hingga Juni mendatang, setelah sempat terhenti karena masa tenang dan pelaksaaan Pemilu pada 8 hingga 14 Februari 2024. Hal ini kata Arief, sekaligus menjawab tudingan sejumlah pihak jika bantuan pangan beras sebagai alat politik.

"Yang kasihan harus dijaga maka 22 juta KPM desil terbawah itu diberi bantuan pangan. Sekali lagi tidak ada kaitan dengan politik," ujarnya.

Menurut Arief, masalah perberasan saat ini juga menjadi konsentrasi utama pemerintah di tengah melonjaknya harga yang diikuti dengan inflasi beras tertinggi. Arief menyebut, Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna terkait persiapan pangan Ramadhan dan Lebaran telah memerintahkan percepatan penambahan (top up) stok beras di Bulog dalam batas cukup di angka 1,4 juta ton.

"Hari ini inflasi yang paling tinggi adalah beras. Jadi beras ini jadi concern Presiden percepat men-top up stoknya Bulog. Stok Bulog itu harus ada minimal 1,2 juta ton. Stok level terakhir ada 800 ribu terakhir, dan yang sedang dalam perjalanan sekitar 500-600 ribu ton," ujar Arief.

Selain itu, pemerintah melalui Bulog juga akan terus membanjiri beras di pasar baik ritel modern maupun tradisional. Meski demikian, Arief mengakui dalam proses menyuplai beras di ritel khususnya, membutuhkan cukup waktu.

"Karena memang kita perlu waktu untuk meng-convert dari 50 kilogram (kg) ke 5 kilogram dan mendistribusikan," ujarnya.

Arief pun memastikan ketersediaan beras ini akan cukup sampai lebaran. Kondisi ini, lanjut Arief, diikuti dengan panen di beberapa wilayah yang menambah produksi beras nasional.

"Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Demak itu panen. Sumatra Selatan, Blitar itu panen," ujarnya.

Ia pun meyakini dengan tambahan hasil panen di beberapa daerah akan mampu mengoreksi harga beras di pasaran. Saat ini, kata dia, harga gabah sendiri sudah terkoreksi mulai dari Rp 8.600 ke Rp 8.000 per kg dan rata rata nasional hari ini Rp 7.100 per kg.

"Biasanya kalau harga beras itu apa kata harga gabah. Jadi cara mudahnya dua kali. Kalau harga gabahnya Rp 8 ribu maka harga beras akan Rp 16 ribu. Kita harapkan dengan harga gabah yang sudah Rp 7 ribu itu artinya bisa mengoreksi harga beras yang dari pasar. Kalau melihat harga beras yang hari ini, harganya di bawah Rp 13 ribu, itu adalah beras intervensi dari pemerintah," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement