REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyatakan, tambahan impor beras sebanyak 1,6 juta ton bertujuan untuk mencegah risiko kekurangan beras.
"Kenapa 1,6 juta (ton) tambahan, ini yang namanya early warning system. Jangan sudah kejadian (beras langka), kita tidak punya stok atau baru nyari-nyari. Nanti harga beras yang di dunia itu angkanya akan tinggi," ujar Arief di Depok, Jawa Barat, Selasa (27/2/2024).
Arief menyampaikan, pemerintah harus memiliki cadangan beras pemerintah (CBP) untuk mencegah kelangkaan, baik yang disebabkan oleh ancaman cuaca maupun produksi dalam negeri yang terganggu oleh hama. Arief menyebut, antisipasi kelangkaan beras tidak bisa dilakukan secara mendadak, dibutuhkan persiapan hingga tiga bulan ke depan.
Oleh karenanya, rencana impor beras menjadi langkah mitigasi untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri yang mencapai 2,5 juta ton per bulan. Namun demikian, importasi beras tidak akan merugikan produksi lokal. Menurut Arief, beras yang didatangkan dari luar negeri telah disesuaikan dengan jumlah kekurangan antara produksi dan konsumsi nasional.
Bapanas juga telah berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait dengan prediksi cuaca karena berhubungan langsung dengan musim panen raya.
"Importasi yang dilakukan pemerintah adalah importasi yang terukur, sehingga kita juga harus jaga di tingkat petani dengan baik ya, hulu dan hilir. Kalau Pak Presiden (Joko Widodo) pesannya harus dijaga dengan baik," kata Arief.
Sementara itu, untuk menggenjot produksi beras dalam negeri, Presiden Joko Widodo telah menyetujui penambahan pupuk subsidi dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong produktivitas pangan.
"Selain itu, perlu dibangun sumur bor untuk air. Jadi mau El Nino, tidak ada hujan, sawahnya tetap ada airnya. Jadi kegiatan-kegiatan ini memang harus dikerjakan, harus dimulai," ucap Arief.