REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menonaktifkan sebanyak tujuh orang panitia pemilihan luar negeri (PPLN) di Kuala Lumpur, Malaysia. Pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) yang digelar di Kuala Lumpur mendatang akan diambil alih pelaksanaannya oleh KPU RI.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, pengambilalihan pelaksanaan PSU di Kuala Lumpur untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Pasalnya, banyak hal yang harus disiapkan untuk PSU di Kuala Lumpur, mulai sari surat suara, data pemilih, dan sebagainya.
"Jadi sudah diambil alih oleh KPU pusat. Tentu saja kita mendapat dukungan dari sekretariat PPLN di sana, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri, dalam hal ini KBRI yang ada di Kuala lumpur," kata dia saat konferensi pers di Media Center KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (27/2/2024).
Ia menyebutkan, terdapat dua komisioner KPU yang telah ditugaskan untuk melakukan PSU di Kuala Lumpur. Dua komisioner itu adalah Idham Holik dan Mochamad Afifuddin. Dua orang itu juga didampingi dengan tim Sekretariat Jenderal KPU dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang ada di Kuala Lumpur.
Ihwal penonaktifan tujuh PPLN di Kuala Lumpur, Hasyim mengatakan, pihaknya masih melakukan pemeriksaan terkait kisruhnya pelaksanaan pemilu di wilayah itu. "Kami beri keputusan untuk berhentikan sementara karena sedang dalam proses pemeriksaan oleh KPU pusat," kata dia.
Sebelumnya diketahui KPU akan menggelar PSU untuk pemungutan suara metode pos dan kotak suara keliling (KSK). PSU yang digelar di Kuala Lumpur akan menggunakan metode KSK dan TPSLN.
Rencananya, PSU dengan metode KSK akan digelar pada Sabtu (9/3/2024). Sementara PSU dengan metode TPSLN akan digelar pada Ahad (10/3/2024).
Keputusan untuk PSU di Kuala Lumpur itu dilakukan setelah KPU dan Bawaslu sepakat untuk tidak menghitung suara pemilih yang mencoblos menggunakan metode pos dan KSK. Pasalnya, ada masalah serius terkait daftar pemilih.
Bawaslu menemukan, PPLN Kuala Lumpur pada 2023 lalu hanya melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) calon pemilih terhadap 49.000 orang WNI. Padahal, ada 490 ribu WNI yang tercatat dalam data penduduk potensial pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri.
Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur. DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT). Namun, sebagian besar DPK itu tidak bisa memilih karena surat suara cadangan hanya 2 persen dari total DPT.
Selain itu, Bawaslu menyampaikan ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seharusnya dikirim untuk pemilih via pos. Bawaslu juga mengaku sedang menelusuri dugaan perdagangan surat suara di Malaysia.