REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelandang Juventus, Nicolo Fagioli, diskors selama tujuh bulan menyusul skandal perjudian yang mencuat pada bulan Oktober. Ia mendapatkan hukuman tambahan lima bulan tampil di publik, terapi untuk kecanduan judi, dan membantu orang lain menghindari nasib serupa.
Pada Selasa (27/2/2024), Fagioli menjadi salah satu penampil wajib di Turin. Itu merupakan pertemuan dengan para psikolog dan mahasiswa di mana gelandang Juventus tersebut membuka diri tentang kecanduan yang telah ia obati.
“Bermain sepak bola akan membantu saya. Menjauh dari lapangan adalah hukuman yang saya terima, tapi itu membuat segalanya menjadi lebih sulit,” kata dia seperti dikutip Calciomercato.com, dikutip dari Football Italia.
Ia mengaku terpaksa menerimanya. Jika tidak, ia tidak akan pernah bisa merumput kembali. Fagioli tidak sabar untuk bermain lagi setelah larangan merumput berakhir pada 19 Mei.
"Pada 25 Mei, saya seharusnya bisa memainkan pertandingan terakhir musim ini. Bermain di Euro adalah mimpi saya,” kata dia.
Fagioli, 23, telah memainkan enam pertandingan Serie A pada 2023-24 sebelum menerima larangan hingga 19 Mei 2024. Rekan senegaranya Sandro Tonali juga diskors karena berjudi sepak bola tetapi akan kembali beraksi pada Agustus 2024. Fagioli terus berlatih bersama tim pertama Juventus setelah hukumannya berakhir.
“Saya merasa jauh lebih baik sekarang. Tahun lalu, saya mengalami momen tersulit dalam hidup saya. Namun dengan bantuan Paolo, saya menjadi lebih baik. Keluarga dan teman-teman saya membuat saya merasa baik-baik saja. Saya berolahraga,” katanya.
“Saya mulai [berjudi] ketika saya berusia 16 tahun, itu seperti permainan, tapi perlahan-lahan menjadi penyakit."
Ia mengaku memulai taruhan olahraga ketika masih berada di tim muda Juventus dan kemudain kehilangan kendali.
"Saya mencari dopamin tanpa menyadarinya. Kemudian saya menyadari bahwa itu adalah suatu penyakit, tetapi butuh waktu lama untuk mencari pertolongan," ungkapnya.
Ia mengaku tidak bisa tidur pada malam hari. Fagioli menghabiskan begitu banyak waktu di telepon, dengan panggilan dan pesan untuk meminta bantuan karena saya telah mencapai titik terendah.
“Pada awalnya, Anda berpikir Anda tahu lebih banyak, tapi kemudian Anda menyadari bahwa menjadi pesepakbola tidak ada keuntungannya. Saya tidak tahu mengapa saya memulainya. Mungkin karena saya merasa kesepian dan jauh dari rumah,” jelasnya.
"Saya selalu mudah tersinggung. Satu-satunya hal yang melegakan adalah pertandingan karena saya tidak berlatih dengan baik, jadi saya bukanlah pesepakbola yang memberikan segalanya. Saya menghabiskan 10 atau 12 jam di telepon. Saya merasa marah dan malu ketika semua hal itu terungkap di media sosial, tetapi kemudian saya merasakan kedamaian."
Sekarang, ia mengaku sangat ingin kembali ke lapangan. Hubungannya dengan keluarga dan teman-temannya juga telah berubah. Fagioli merasa seperti kehilangan waktu, tapi menyadari ia berada di jalur yang benar ketika mulai menghargai waktu yang dihabiskan bersama mereka.
“Klub dan rekan satu tim saya membantu saya. Saya merindukan ruang ganti sebelum pertandingan, tapi selebihnya sepertinya tidak ada yang berubah. Setelah dua pekan pertama, saya mulai fokus pada tim, tapi sulit untuk tidak terlibat dalam pertandingan. Saya tidak menerima hinaan di jalanan atau di stadion, dan saya tidak menduganya. Saya terus menjalani hidup saya dengan ketenangan,” tambahnya.
“Ini mungkin terdengar klise, tetapi ketika saya berusia 16 tahun, saya pikir saya bisa mengendalikan diri, dan saya tidak percaya mereka yang berbicara tentang suatu penyakit.”