Kamis 29 Feb 2024 16:31 WIB

ICCT: Elektrifikasi Sektor Transportasi Sudah Berada di Jalur Tepat

Potensi kendaraan listrik baterai untuk mereduksi emisi GRK pun paling besar.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Media Workshop: Course To Zero (Emission) di ECO-S Coworking & Office Space Sahid Sudirman Residence.
Foto: Dok. Web
Media Workshop: Course To Zero (Emission) di ECO-S Coworking & Office Space Sahid Sudirman Residence.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International Council on Clean Transportation (ICCT) menilai elektrifikasi sektor transportasi sudah berada pada jalur yang tepat untuk mencapai target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. 

Potensi kendaraan listrik baterai untuk mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) pun paling besar dibandingkan dengan jenis kendaraan kendaraan rendah emisi lainnya. 

Baca Juga

Selain itu, kendaraan listrik baterai juga dapat mengoptimalkan pencapaian target pengurangan GRK bila disandingkan dengan peningkatan bauran listrik dari energi terbarukan.  

Hal-hal tersebut merupakan temuan ICCT dalam kajian bertajuk “Perbandingan Daur Hidup Emisi Gas Rumah Kaca dari Kendaraan Bermotor Mesin Bakar dengan Kendaraan Listrik pada Mobil Penumpang dan Sepeda Motor di Indonesia”. 

Kajian tersebut dipaparkan dalam “Media Workshop: Course To Zero (Emission)” di ECO-S Coworking & Office Space Sahid Sudirman Residence. Dalam acara yang dimoderatori oleh Product Manager Katadata Green, Jeany Hartriani tersebut dihadiri oleh Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi, Rachmat Kaimuddin serta dua Senior Researcher ICCT, Aditya Mahalana dan Georg Bieker. Adapun Georg penulis utama kajian tersebut.

Rachmat mengatakan, sektor transportasi merupakan kontributor emisi GRK kedua terbesar di Indonesia dan terbesar di Jakarta. 

“Pemerintah mau mendorong adopsi kendaraan nol emisi. Kendaraan paling sesuai dengan itu adalah kendaraan listrik baterai,” ujarnya.

“Menurut perhitungan ICCT, pada 2050 emisi dari sektor transportasi akan meningkat sebanyak dua kali lipat dari sekarang,” ujar Aditya menambahkan. 

Dia menjelaskan, pengurangan emisi sektor tersebut dapat dicapai dengan adopsi kendaraan listrik baterai.

Mengulik hasil kajian ICCT yang mengkaji daur hidup emisi (life-cycle emissions) pada kendaraan roda empat dan dua, ada potensi untuk mereduksi emisi GRK dengan membandingkan berbagai sumber rangkaian tenaganya (powertrain). Daur hidup emisi merujuk pada emisi kendaraan, mulai dari proses manufaktur, bahan bakar termasuk proses penambangan, pengilangan dan pembangkitan listrik, sampai dengan akhir hidup kendaraan tersebut dengan masa pakai umumnya 18–20 tahun.

ICCT menggunakan asumsi penggunaan kendaraan serta sumber energi 2023. Kajian ini juga melakukan proyeksi untuk 2030 berdasarkan rencana pemerintah dalam mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060, terutama penambahan bauran sumber energi terbarukan. 

Adapun lima rangkaian tenaga yang dibandingkan adalah antara kendaraan bahan bakar fosil (BBM), kendaraan listrik hibrida konvensional (HEV), kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV), kendaraan listrik sel bahan bakar hidrogen (FCEV), dan kendaraan listrik baterai. 

“Kendaraan listrik baterai hanya menghasilkan separuh dari emisi kendaraan BBM yang dijual pada 2030, bahkan bisa lebih rendah,” ujar Georg Bieker.

Perhitungan kajian menunjukkan, daur hidup emisi kendaraan listrik baterai untuk segmen kendaraan kecil, sport utility vehicle (SUV), dan multipurpose vehicle (MPV) pada 2023 sebesar 47–56 persen lebih rendah dibandingkan kendaraan BBM. Sementara proyeksi daur hidup emisi untuk SUV pada 2030, diperkirakan menjadi 52–65 persen lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan BBM yang diproduksi pada 2023. 

Apabila pengisian daya kendaraan listrik baterai menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan, maka potensi emisinya bisa mencapai 85 persen lebih rendah. 

“HEV dan PHEV bisa membantu mengurangi emisi, tapi tidak dalam jangka panjang. Kedua kendaraan ini tidak memungkinkan untuk mencapai target NZE 2060,” ungkap Bieker. HEV masih menggunakan BBM dan hanya menawarkan manfaat efisiensi bahan bakar. PHEV juga masih mengandalkan BBM sebagai bahan bakar utamanya.

Sepeda motor listrik juga tercakup dalam kajian ICCT. Berdasarkan kajian tersebut, sepeda motor listrik juga punya potensi mengurangi emisi GRK dibanding motor konvensional. Kajian ICCT menunjukkan pada 2023, daur hidup emisi sepeda motor segmen sepeda motor listrik lebih rendah sebesar 26–35 persen dibanding sepeda motor BBM.

Proyeksi daur hidup emisi sepeda motor listrik pada 2030 memiliki potensi reduksi emisi sebesar 34–51 persen dibanding sepeda motor BBM yang diproduksi pada 2023.

Kajian ICCT mengusulkan empat opsi kebijakan. Pertama, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan khusus untuk meningkatkan produksi baterai dan kendaraan listrik secara domestik. 

Kebijakan ini dapat ditempuh dengan menetapkan target produksi dan penjualan kendaraan listrik melalui Kementerian Perindustrian. Kebijakan ini juga disandingkan dengan insentif pengurangan pajak produsen kendaraan listrik.

Kedua, pemerintah dapat mempertimbangkan penghentian produksi dan penjualan mobil dan sepeda motor BBM, serta HEV dan PHEV, secara bertahap pada 2040. Hal ini penting dilakukan untuk mempercepat pencapaian target NZE 2060.

Ketiga, pemerintah dapat menetapkan mandat penjualan kendaraan listrik dan/atau penerapan Corporate Average Fuel Economy (CAFE) Standard untuk membantu produsen meningkatkan pangsa kendaraan listrik baterai. Perlu diketahui, CAFE Standard adalah upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan seperti pada jenis kendaraan mobil dan truk berukuran kecil melalui penerapan standar efisiensi bahan bakar.

Opsi terakhir, pemerintah pusat maupun daerah dapat mempertimbangkan pemberian subsidi pembelian kendaraan listrik baterai dan insentif pajak yang lebih beragam. Kebijakan ini diimbangi dengan kebijakan feebate/rebate atau cukai untuk kendaraan dengan tingkat polusi atau konsumsi bahan bakar yang tinggi.

“Selain insentif, kebijakan non-insentif seperti pengecualian ganjil-genap di Jakarta atau penerapan tarif khusus untuk parkir kendaraan listrik baterai dan lainnya bisa membantu,” kata Aditya. Dia juga menyampaikan usulan opsi keringanan biaya untuk mengisi baterai kendaraan listrik baterai di luar peak hour (dari malam sampai pagi hari).

Menurut Rachmat, pemerintah akan melanjutkan insentif keringanan pajak, serta menerbitkan peraturan yang menangguhkan bea impor masuk kendaraan listrik guna mengenjot produksi dalam negeri.

Pemerintah, kata dia, sedang berkoordinasi untuk menarik investor seperti dari Citroën agar membangun kendaraan listrik baterai di dalam negeri per Juli tahun ini. Rachmat juga mengatakan, pemerintah sebelumnya telah menyiapkan dua jenis insentif untuk sepeda motor dan mobil listrik. “Untuk motor kami berikan subsidi Rp7 juta, untuk mobil 10 persen  pajak pertambahan nilainya ditanggung pemerintah,” ungkapnya. 

Saat ini, sektor transportasi menyumbang 27 persen emisi GRK dan berpotensi naik pesat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa manfaat dari dekarbonisasi sektor transportasi antara lain mengurangi jumlah populasi masyarakat yang rentan terhadap dampak buruk kesehatan dan produktivitas akibat pencemaran udara, mendukung tersedianya udara bersih untuk kesehatan manusia, dan mengurangi impor minyak dan anggaran pemerintah untuk subsidi BBM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement