REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar psikologi klinis dan kesehatan mental Universitas Airlangga (Unair) Margaretha menyoroti masih maraknya kasus perundungan atau bulliying di sekolah. Bullying adalah pola kekerasan yang berulang dalam hubungan antar individu atau kelompok.
Biasanya, kata dia, ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban. Margaretha mengingatkan, bullying tidak hanya dapat menjadi luka bagi para korban, tetapi juga menjadi racun bagi para pelaku.
Ia pun menekankan pentingnya peran aktif dari lingkungan sekitar seperti teman, guru, terutama orang tua. "Jangan biarkan korban sendirian menghadapi bullying. Lingkungan harus bersikap tegas dan memberi sanksi kepada pelaku," kata Margaretha, Jumat (1/3/2024).
Margaretha melanjutkan, bagi korban, dukungan psikologis sangat diperlukan agar mampu menyatakan batas-batas secara sehat. Margaretha mengatakan, korban harus dilatih untuk bersikap asertif, yaitu berani menghadapi pelaku untuk menghentikan olok-olok atau ejekan secara efektif.
"Jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri, saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Korban perlu berani bilang stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu," ujarnya.
Selain itu, lanjut Margaretha, korban juga dapar mengubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat tidak enak. "Misalkan bilang ke diri sendiri, kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat. Atau ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan," ucapnya.
Tak hanya korban, bagi Margaretha, pelaku bullying juga perlu diintervensi. Pasalnya, para pelaku bullying adalah individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah secara sehat. Pelaku bullying perlu berlatih mengelola emosi solutif dan benar secara sosial.
"Misalnya, jika mereka tidak suka dengan perilaku seseorang, mereka bisa berbicara dengan sopan dan jujur, tanpa harus memukul atau menyakiti," kata dia.
Pelaku bullying juga harus belajar empati, yaitu kemampuan menempatkan diri di posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Riset psikologi menemukan, bullies atau pelaku bulliying sulit memahami dari perspektif orang lain, sehingga sulit berempati.
Pelaku cenderung melihat hanya dari cara pandangnya sendiri, dimana korban bullying dilihat sebagai orang lemah yang pantas diperlakukan buruk bukan simpati.
"Nah, intervensi psikologi akan melatih pelaku memahami posisi si korban," ujarnya.