Sabtu 02 Mar 2024 00:40 WIB

MK Bantah Putusannya Hapus Parliamentary Threshold Sepenuhnya

MK menyadari ambang batas parlemen masih diperlukan di pemilu.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) membantah menghapus ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebagaimana termuat di Undang-Undang tentang Pemilu. MK menyadari ambang batas parlemen masih diperlukan melalui kajian yang menyeluruh. 

MK baru saja mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada 29 Februari 2024.

Baca Juga

"Putusan 116 tidak meniadakan threshold sebagimana dapat dibaca dari amar putusan," kata hakim sekaligus Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih kepada wartawan, Jumat (1/3/2024). 

MK memutuskan besaran ambang batas parlemen ditentukan sendiri oleh pembentuk undang-undang yang terdiri atas DPR RI dan pemerintah. Enny mengingatkan agar penentuan besarannya didasarkan pada kajian. 

"Bahwa threshlod dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk undang-undang untuk menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif," ujar Enny. 

MK berharap putusan soal penentuan ambang batas parlemen dapat mengurangi disproporsionalitas yang semakin tinggi. Kondisi tersebutlah yang dalam pantauan MK justru menyebabkan banyak suara sah terbuang.

"Sehingga sistem proporsional yang digunakan, tapi hasil pemilunya tidak proporsional," ucap Enny. 

Atas dasar itulah, MK memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di Pemilu berikutnya. Sebab terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029. 

"Untuk pemilu 2029 dan seterusnya sudah harus digunakan threshold dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut," ujar Enny. 

Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa “partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.

MK memutuskan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.

Dalam pertimbangan hukum, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen. Angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. 

Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, tapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement