Ahad 03 Mar 2024 06:34 WIB

Penganiayaan Santri, KPPPA: Pelaku Iri Korban Kerap Dikirimi Uang dari Orang Tuanya

KPPPA sebut penganiayaan santri hingga tewas di Ponpes Kediri disebabkan pelaku iri.

Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah tersangka penganiayaan santri yang mengakibatkan meninggal dunia menjalani rekonstruksi. KPPPA sebut penganiayaan santri hingga tewas di Ponpes Kediri disebabkan pelaku iri.
Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/S
Sejumlah tersangka penganiayaan santri yang mengakibatkan meninggal dunia menjalani rekonstruksi. KPPPA sebut penganiayaan santri hingga tewas di Ponpes Kediri disebabkan pelaku iri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengutuk keras kembali terjadinya kasus kekerasan di pondok pesantren PPTQ Al Hanifiyyah, Kediri hingga menyebabkan hilangnya nyawa santri berusia 14 tahun. KPPPA menduga hal ini terjadi akibat rasa iri para pelaku terhadap korban.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar menyebut keempat tersangka sudah diamankan oleh Polresta Kediri. Mirisnya, salah satu tersangka masih memiliki hubungan keluarga (saudara sepupu) dengan anak korban. 

Baca Juga

"Menurut keterangan kakak korban, tersangka kerap iri dengan korban sebab korban sering mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya yang bekerja di luar kota," kata Nahar dalam keterangan yang dikutip pada Sabtu (2/3/2024). 

Bahkan, barang yang dimiliki korban kerap dipakai oleh para pelaku. "Ponsel anak korban pun sering digunakan oleh para tersangka untuk bermain gim," ujar Nahar.

Kasus ini bermula pada 23 Februari, pihak keluarga korban menerima kabar dari pondok pesantren mengenai meninggalnya korban dikarenakan sakit lambung dan terjatuh di kamar mandi. Pihak pondok pesantren mengatakan korban telah dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong.

Tapi ketika keluarga korban menerima kepulangan jenazah, ditemukan darah yang mengalir dari keranda jenazah. Dari situlah kecurigaan keluarga semakin menguat dan meminta agar kain kafan anak korban dibuka. 

"Kondisi jenazah anak korban sangat memprihatikan dengan berbagai luka yang terlihat jelas di sekujur tubuh. Keadaan tubuh anak korban penuh lebam, luka robek, luka sundutan rokok di kaki, luka menganga pada dada, hingga luka jeratan di leher," ujar Nahar. 

Berdasarkan keterangan ibu korban, korban sempat menghubungi melalui pesan instan WhatsApp dan minta untuk dijemput. Namun, ibu korban tidak mengiyakan permohonan tersebut sebab sebentar lagi anak korban akan libur imtihan (libur bulan Ramadhan) dan anak korban pun mengiyakan. Tapi pada saat itu, ibu korban sudah memiliki firasat yang kurang baik. 

"Akhirnya ibu korban sempat pesan travel untuk menjemput, namun keesokan harinya, korban menelepon dan mengatakan pada ibu korban tidak perlu menjemput karena korban baik-baik saja," ujar Nahar.

KPPPA akan terus mengawal proses hukum para tersangka dan upaya pendampingan bagi keluarga korban. "Kami berharap tidak ada lagi anak yang menjadi korban akibat kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, khususnya pondok pesantren," ujar Nahar. 

Atas perbuatan tersebut, para tersangka melanggar Pasal 76 C juncto Pasal 80 ayat 3  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 170 dan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun jika mengakibatkan korban meninggal dunia.

Bagi pelaku yang masih berusia anak  maka perlu mempedomani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement