REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Dinas Tenaga dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) I Gede Putu Aryadi menyebut proses rekrutmen menjadi salah satu titik rawan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ilegal dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"PMI nonprosedural, bahkan kasus kejahatan TPPO seringkali berawal dari proses rekrutmen oleh pihak atau oknum yang tidak kompeten," ujarnya di Mataram.
Ia mengatakan jika dilakukan secara ilegal, apalagi oleh oknum yang tidak kompeten, maka dari sinilah awal malapetaka bagi CPMI. Karenanya proses rekrutmen ini perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak.
"Hal itu terjadi, karena belum semua perusahaan atau P3MI mematuhi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI," kata dia.
Gede, menjelaskan bahwa bekerja ke luar negeri merupakan pilihan dan hak setiap warga negara. Pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk bekerja.
"Kewajiban pemerintah bersama semua pihak adalah memfasilitasi, menyiapkan mereka agar memenuhi persyaratan dan protokol antarnegara serta memberikan perlindungan," ujarnya.
Ia menyatakan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI mengamanatkan bahwa rekrutmen etis oleh P3MI dilakukan oleh petugas antarkerja resmi dari perusahaan P3MI yang memiliki izin rekrut dan job order bersama pejabat fungsional pengantar kerja dari Disnakertrans dan juga melibatkan desa dan dusun.
Petugas antarkerja dari P3MI merupakan pegawai perusahaan, yang wajib memenuhi persyaratan menjadi petugas yang kompeten dan bertanggung jawab.
"Tetapi faktanya masih ada perusahaan yang melakukan proses rekrut dengan menggunakan jasa calo, yang akhirnya memunculkan beragam kasus yang menimpa para CPMI kita," ujarnya.
Berbeda dengan mekanisme rekrutmen sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2004, di mana penyampaian informasi dan rekrutmen CPMI dilakukan oleh petugas lapangan (PL) yang bukan merupakan petugas resmi/pegawai perusahaan, sehingga tidak ada tanggung jawab atau lebih tepat disebut calo.
"Ulah para mafia dan calo inilah yang menimbulkan banyak kasus, dan ini harus dihentikan," kata mantan Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Diskominfotik) NTB ini.
Untuk itu, ia mengingatkan dan mengajak kepada para direktur P3MI agar proses rekrutmen tidak lagi menggunakan calo.
Kerja sama yang baik dan pembinaan intens yang dilakukan pihaknya dua tahun terakhir bersama asosiasi P3MI dan pihak terkait, saat ini sudah mulai menunjukkan perbaikan.
"Edukasi untuk mengeliminir gerak para calo atau oknum PL yang sering menjual informasi untuk menipu CPMI kita, semakin gencar dilakukan," ucapnya.
Pencegahan juga dilakukan dengan cara menertibkan perusahaan penempatan PMI (P3MI), di antaranya P3MI yang ingin merekrut PMI di NTB wajib membuka kantor cabang di daerah agar aktivitas-nya bisa dikontrol, bahkan pelatihan harus CPMI harus dilakukan di daerah itu.
Selain itu, P3MI juga wajib melaporkan progres perusahaan secara rutin dan berkali minimal setiap tiga bulan sekali. Dari pembinaan intens yang dilakukan pihaknya, jika masih ada perusahaan atau oknum yang nakal, maka penegakan hukum yang tegas mulai diterapkan.
Penegakan hukum juga bertujuan untuk membangun kesadaran bersama agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban kejahatan, sekaligus untuk memberikan efek jera.
Hingga hari ini Satgas PPMI yang bekerja sama dengan Satgas TPPO Polda NTB sedang menangani 65 tersangka dengan jumlah korban 148 orang dan 40 persennya merupakan perempuan.
"Sementara jumlah P3MI di wilayah NTB terus tumbuh dan berkembang. Saat ini jumlahnya telah mencapai 182 perusahaan, terdiri 14 P3MI berkantor pusat di NTB dan sisanya adalah kantor cabang," katanya.