Senin 04 Mar 2024 12:36 WIB

Anomali Pemilu 1955: Dari Pengerahan Masa Miskin Ibu Kota. Perang Pidato, Hingga Kontas Hiburan Pang

Pemilu di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan sudah terjadi berbagai anomali.

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Suasana kampanye<a href= pemilu 1955." />
Suasana kampanye pemilu 1955.

Semenjak wafatnya ‘Babe’ Ridwan Saidi setahun silam, sosok yang bisa bercerita panjang dan detil mengenai sejarah berbagai anomali di Pemilu Indonesia makin sulit didapatkan. Mungkin Babe Ridwan layaknya menjadi ‘Last Mohican’ dalam dapat penulis meminta pendapatnya secara langsung karena dia mengikuti berbagai orde pemilu, baik di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Bahkan, Ridwan terjun langsung sebagai pemain politiknya.

Bahkan, beberapa hari sebelum wafat saat itu Babe dengan sangat detil menjelaskan data apa saja yang pernah terjadi pada ajang politik ini.

Babe Ridwan ketika bercerita soal Pemilu Indonesia, dia pasti memulai dari keadaan di awal 1950-an, di mana sekelompok anak muda yang menjadi kader PKI, Aidit DKK, mengambil partai itu dari kalangan generasi tua. Kala itu PKI yang sudah mati suri dibangkitakan kembali oleh keputusan Presiden Soekarno karena akan segera berlangsung Pemilu 1955. Ridwan mengatakan pengambilah PKI tersebut dilakulan sekitar tahun 1952. Atau, tiga tahun sebelum Pemilu 1955.

‘’Aiditlah yang memimpin reorganisasi partai PKI pada awal 1950-an itu. Ini dilakukan setelah PKI dinyatakan pemerintah usai tahun 1948 akibat mereka melakukan pemberontakan di Madiun. PKI yang terpuruk, bahkan ketua partainya Musso ditembak mati, oleh Aidit dihidupkan kembali,’’ kata Ridawan Saidi saat itu.


Dan benar, akibat kepiwaian Aidit PKI pada tajun 1955 mendapat sukses besar. Mereka bertenggar di papan atas partai di Indonesia. Posisinya berada di empat besar, di belakang partai PNI, Masyumi, dan Nandhlatul Ulama. Bahkan, pada pemilihan PKI mampu menggeser partai yang kala itu diisi kaum terdidik, Partai Sosialis Indonesia (PNI), pimpinan mentan perdana menteri Sutan Syahrir yang hanya mendapat suara dalam suara porsi kecil saja.

‘’Untuk Jakarta misalnya, PKI punya suara siginfikan. Suara mereka di dapat dari para kaum miskin kota yang menggelandang atau tinggal di Indonesia. Mereka dijadikan penduduk resmi Jakarta oleh para kader PKI. Saya tahu betul itu karena saya selaku warga Betawi yang tinggal di kawasan pejompongan Jakarta Pusat tahu persis tak ada warga Betawi yang memilih PKI. Mereka yang memilih partai itu warga tak beridentitas resmi yang datang dari luar Jakarta menjelang Pemilu diberi status sebagai penduduk Jakarta,’’ kata Ridwan.

Lalu apa anomali berikutnya di Pemilu 1955? Menurut Ridwan Saidi jawabnya ada dua, yakni anomaly yang positif dan yang negatif. Anomali yang positif misalnya meski pertarungan politik sangat keras rakyat tak terlalu terpancing dalam emosi yang menggila. Pidato para tokoh partai kala itu sangat keras menyerang partai yang lain.

Bahkan sewaktu berkampanye di Jawa Timur DN Aidit sempat akan dikeroyok dengan diturunkan secara paksa sekelompok masa yang tidak terima atas ujaran pidatonya.

Kala itu, ungkap Ridwan, Aidit berkampanye pada sebuah alun-alun di sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Di atas podium dia mengatakan kalau lebih Islami maka PKI lebih Islam dari partai Masyumi. Kontan saja para pendukung Masyumi yang juga menyaksikan kampanye itu menggeruduk Aidit yang lagi pidato.

‘’Hampir saja Aidit babak belur dipukuli oleh kader Partai Masyumi. Untung saja ada kader Masyumi yang menyelamatkan dia lalu membawana ke Surabaya.’’ Katanya.


Perliaku yang sama juga terjadi di Jakarta ketika Aidit berkampanye di Lapangan Banteng. Dari atas mimbas kampanya yang menggunakan pengeras suara bermeret TOA, Aidit menyebut: “Bila Masyumi menang, maka nama Lapangan Banteng akan diganti menjadi Lapangan Onta!”

Pada hari berikutnya, pidato ejekan Aidit kepada Masyumi di Lapangan Banteng itu kemudian KH Isha Anshari. Dalam pidatonya dia mengatakan: ‘kalau PKI menang Pemilu nantinya lapangan Banteng akan diganti namanya menjadi Lapangan Lenin,’’ ujar Ridwan sembari terkekeh seraya mengatakan kala itu dia merasa ‘demen’ dengan isi pidato elit partai dalam kampanye yang pasti bernas menadangan ketinggian pencapaian tingkat intelektualitasnya.

Anomali yang lain pada pemilu 1955 adalah pilihan bentuk hiburan diajang kampanye. Masing-masing partai punya cirinya sendiri.’’Yang paling kontras tentu saja gaya hiburan dipanggung kampanye antara PKI dan Masyumi. PKI berkampanye dengan diiringi band musik keroncong dan bahkan main rebana segala. PNI berkampanye dengan diiringi hiburan dari band lagu Melayu. Saya yang kala itu masih sangat muda suka melihat ajang kampanye dari kedua partai itu,’’ kata Ridwan menandaskan.

Kemudian apa anomali yang lain dari Pemilu 1955 sampai Pemilu hingga zaman reformasi (Pemilu 2019, pemilu terakhir yang diikutinya sebelum wafat,re). Bae Ridwan mengatakan: Emang beda Pemilu 1955 dengan pemilu berikutnya adalah Pemilu ‘nyang’ 1955 baru tahu siape pemenangnya setelah coblosan. Pada ajang pemilu sesudah itu sebelum coblosan kite bisa ‘tau’ siapa pemenangnya ha ha ha ha,’’ kata Ridwan Saidi sembari tertawa kekeh-kekeh.

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/292803/anomali-pemilu-1955-dari-pengerahan-masa-miskin-ibu-kota-perang-pidato-hingga-kontas-hiburan-panggung-kampanye
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement