REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (Wasekjen PKB) Syaiful Huda berpendapat agar ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) bukan dihapuskan, melainkan justru dinaikkan dari angka 4 persen menjadi 7 persen. Ia pun mengkritik hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus PT menjadi 0 persen dengan mengungkapkan sejumlah alasan politis.
"Ada lima hal kenapa saya menolak. Pertama, melemahkan sistem presidensial kita. Kalau 0 persen PT, artinya berserak partai-partai di parlemen. Presiden terpilih pusing mau konsolidasi, jadi produktivitas presiden akan terhalangi," kata Huda di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Senin (4/3/2024).
Adapun alasan kedua, PT yang dihapus menjadi 0 persen bisa semakin menarik jauh dari proses kelembagaan demokrasi. Menurutnya semakin banyak multipartai, bisa menyebabkan pelemahan proses pelembagaan politik.
"Ketiga, demokrasi kita ini kenapa belum ada tradisi oposisi dan the ruling party, karena terlalu banyak partai. Jadi selama multipartai dipertahankan, selama itu juga kita enggak punya tradisi oposisi dan the ruling party. Berat. Enggak bisa," jelasnya.
Alasan keempat adalah pragmatisme politik. Dengan dihapusnya PT, ia menyebut nantinya para pemodal atau orang-orang yang berduit akan mudahnya menggunakan kekuatan materi untuk bisa melanggeng ke parlemen secara pragmagtis.
"Kelima, ini agenda PKB dari dulu. PT itu malah harus dinaikkan. Pemilu 2024 ini PKB usulkan 7 persen. Kenapa? supaya terjadi proses pelembagaan politik supaya lebih stabil dan produktif. Kalau begini terus enggak produktif politik Indonesia itu. Kami rasa partai di Indonesia ini cukup lah," ujarnya.
Ia melanjutkan, secara ideologis politik memiliki sejumlah kekuatan, diantaranya kekuatan yang berbasis kekayaan, nasionalisme, dan agama. "Seperti PKB ini, partai yang berbasis agama dan nasionalisme cukup diwakili oleh kelompok ini," tegasnya.
Huda menambahkan, justru jika memang ingin merepresentasikan Indonesia dengan cara menghapus PT di parlemen, menurutnya lebih baik tidak lewat partai, melainkan lewat dewan perwakilan daerah (DPD).
"Jangan lewat partai, lewatnya DPD, sudah ada salurannya. Jadi kalau menjadikaj PT 0 persen itu, seolah menjadikan partai seperti DPD RI, secara iktikad begitu," tuturnya.