Selasa 05 Mar 2024 07:18 WIB

Angka Partisipasi Pemilihan Parlemen Iran Terendah Sejak Revolusi 1979

Selama hampir dua dekade parlemen Iran dikuasai kelompok garis keras

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberikan suaranya pada pemilihan legislatif Iran di Teheran, Iran, (1/3/2024).
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberikan suaranya pada pemilihan legislatif Iran di Teheran, Iran, (1/3/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Dalam Negeri Iran Ahmad Vahidi mengatakan angka partisipasi pemilih dalam pemilihan parlemen sekitar 41 persen. Partisipasi terendah sejak revolusi 1979 yang membawa ulama ke tampuk kekuasaan.

Pemilihan pada Jumat (1/3/2024) dianggap sebagai tes pada legitimasi penguasa di tengah kesulitan ekonomi dan lemahnya opsi terutama bagi pemilih muda yang tidak menyukai batasan dalam politik dan sosial. "Sekitar 25 dari 61 juta lebih pemilik hak suara memilih 290 kursi legislatif dalam pemilihan 1 Maret lalu," kata Vahidi dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Senin (4/3/2024).

Baca Juga

Angka partisipasi pemilihan legislatif pada 2020 sekitar 42,5 persen dan 62 persen dalam pemilihan 2016. Pihak berwenang mengatakan angka pemilih "mengindikasi rakyat percaya pada sistem sakral Republik Islam."

Vahidi mengatakan suara tak sah mencapai lima persen dari total suara masuk. Media Iran melaporkan angkanya mencapai 30 persen, menunjukan tanda-tanda ketidakpuasan bahkan diantara pendukung Republik Islam.

"Pihak berwenang harus mendengar mayoritas bungkam (silent majority) dan mereformasi metode pemerintahan, saya berharap mereka sadar sebelum terlalu terlambat memperbaiki kerusakan yang akan ditimbulkan jalan ini," kata politisi reformasi Azar Mansouri seperti dikutip media pemerintah.

Vahidi mengatakan pemungutan suara ulang di sejumlah konstituensi di mana kandidat gagal mendapatkan 20 persen suara minimum akan digelar bulan April. Teheran yang memiliki 30 kursi di parlemen akan menggelar pemilihan umum kedua untuk 16 kursi.

Pemilihan pekan lalu merupakan pemilu pertama sejak gelombang unjuk rasa anti-pemerintah 2023 yang menyebabkan gejolak politik terbesar sejak berdirinya Republik Islam. Pemerintah membungkam aksi dengan tindakan keras termasuk penahanan massal hingga eksekusi.

Dengan tidak berpartisipasinya kelompok moderat dan konservatif dan kelompok reformis menyebut pemilu ini tidak bebas dan adil. Kontestasi pemilu di Iran hanya persaingan antara kelompok-kelompok garis keras yang loyal pada gagasan-gagasan revolusi.

Selama hampir dua dekade parlemen Iran dikuasai kelompok garis keras. Parlemen tidak memiliki banyak wewenang dalam kebijakan luar negeri atau program nuklir. Masalah-masalah tersebut diputuskan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

Aktivasi dan kelompok-kelompok oposisi berpendapat angka partisipasi pemilih yang tinggi dapat melegitimasi Republik Islam. Mereka menyerukan boikot pemilihan umum dengan membagikan targar #VOTENoVote dan #ElectionCircus di media sosial X.

Mantan Presiden Mohammad Khatami yang dianggap pemimpin spiritual reformasi Iran salah satu kritikus yang tidak memberikan suaranya. Kritikus oposisi mengatakan penguasa Iran tidak lagi mampu mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan salah-urus, korupsi dan sanksi-sanksi Amerika Serikat (AS) diberlakukan kembali sejak 2018 ketika Washington keluar dari kesepakatan nuklir 2015.

Pemilihan parlemen digelar bersamaan dengan pemilihan 88 kursi Majelis Para Ahli. Lembaga berpengaruh yang bertugas memilih pengganti pemimpin tertinggi Iran.

sumber : reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement