REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad mengatakan, pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket bukan merupakan sesuatu yang urgen untuk terwujud. Menurut dia, masalah yang harus diperhatikan saat ini adalah hak-hak sopir angkot.
"Aspirasi yang sangat mendesak bagi mereka adalah pengangguran, penciptaan lapangan kerja, bukan hak angket. Yang diperlukan mereka justru adalah hak para sopir angkot," ujar Kamrussamad dalam interupsinya di Rapat Paripurna ke-13 DPR Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024, Selasa (5/3/2024).
"Hak para sopir angkot ribuan, bahkan puluhan ribu anak-anaknya mereka masa depannya, sekolahnya belum tentu mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka," katanya melanjutkan.
Ia mengatakan, Indonesia adalah negara demokrasi yang memberikan ruang konstitusional terhadap seluruh rakyat. Namun, DPR seharusnya lebih memprioritaskan masalah kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, ia menyinggung hak angket jangan sampai menjadi upaya dari pihak-pihak yang tak siap kalah dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Bahkan Kamrussamad menyebut, respon dari pihak yang kalah itu sebagai yang terburuk sejak era reformasi.
"Kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat kita hari ini kerja, hari ini hanya untuk makan besok, bahkan kalau mereka sakit hari ini, maka besok ia harus utang di warung. Inilah aspirasi yang mendesak, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan," ujar Kamrussamad.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR mendorong terbentuknya pansus hak angket untuk menyelidiki indikasi kecurangan Pemilu 2024. Pemilu ditegaskannya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat dalam memilih calon pemimpinnya.
Anggota DPR Fraksi PKB Luluk Nur Hamidah dalam interupsinya menegaskan, pemilu harus berdasar pada prinsip kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan etika yang tinggi. Jangan sampai ada upaya mobilisasi aparat negara untuk memenangkan satu pihak tertentu.
Kendati demikian, Pemilu 2024 justru tercoreng dengan adanya dugaan intimidasi, politisasi bantuan sosial (bansos), pelanggaran etika, hingga intervensi kekuasaan. Ia melihat, Pemilu 2024 menjadi kontestasi yang brutal dan sangat menyakitkan.
Tercorengnya Pemilu 2024 juga telah disuarakan oleh akademisi, tokoh agama, mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat. Mereka menyatakan, etika dan moral politik berada di titik minus dalam kontestasi nasional tahun ini.
"Maka saya kira, alangkah naifnya kalau lembaga DPR hanya diam saja dan membiarkan seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Tanggung jawab moral dan politik kita hari ini adalah mendengarkan suara yang sudah diteriakkan ataupun suara yang tak sanggup disuarakan," ujar Luluk.