Selasa 05 Mar 2024 21:35 WIB

Demokrasi dan Pemilu Bermartabat, Refleksi Wajah Politik Kita

Studi-studi ungkap kemandegan demokratisasi di Indonesia

Ilustrasi Pemilu 2024. Studi-studi belakangan menunjukkan terjadi kemandegan demokratisasi di Indonesia
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Pemilu 2024. Studi-studi belakangan menunjukkan terjadi kemandegan demokratisasi di Indonesia

Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- H L A Hart, seorang ahli hukum ternama, mendefinisikan demokrasi dalam bukunya "The Concept of Law" sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana; 1) Kedaulatan rakyat: Rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Kekuasaan ini diwujudkan melalui partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan; 2) Pemerintahan berdasarkan hukum: Pemerintah dalam sistem demokrasi terikat oleh hukum dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Hukum tersebut harus dibuat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan;

Baca Juga

3) Persamaan hak: Semua orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial lainnya; 4) Kebebasan politik: Rakyat memiliki hak untuk menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat secara bebas. Hak-hak ini penting untuk memastikan bahwa rakyat dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses demokrasi; dan 5) Pemilihan umum yang bebas dan adil: Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara bebas dan adil. Pemilihan umum yang berkala dan transparan merupakan salah satu pilar utama demokrasi.

Pemikiran Hart menjadi penting untuk menjadi variabel dalam melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 dan demokrasi di Indonesia saat ini. Capaian demokrasi di Indonesia pascareformasi, lebih dari dua dasawarsa dicatat dengan penilaian yang berbeda-beda dan bahkan menunjukkan kesimpulan yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Bahkan studi-studi belakangan menunjukkan terjadi kemandegan demokratisasi di Indonesia.

Studi Markus Mietzner tahun 2012, misalnya menyebut bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemandekan. Ada berbagai upaya serius untuk menahan laju reformasi, meskipun tidak selalu berhasil; sehingga demokrasi di Indonesia seolah membeku.

Studi Markus Mietzner itu hampir sama dengan “peringatan” Jean Baechler yang berpendapat bahwa demokrasi tidak saja mengandung kebajikan, namun juga dapat terbersit adanya kecurangan (korupsi) dalam demokrasi. Tipe-tipe utama kecurangan dalam demokrasi tersebut meliputi kecurangan politis, kecurangan ideologis, dan kecurangan moral.

Fareed Zakaria juga menengarai dalam demokrasi bisa saja terjadi penyimpangan yang sumbernya berasal dari dua hal, yaitu: 1) berasal dari otokrat terpilih, dan 2) berasal dari rakyatnya sendiri. Yang terakhir ini, mayoritas rakyat – terutama di negara berkembang–sering kali meruntuhkan hak-hak asasi manusia serta mengkorupsi toleransi dan keterbukaan yang ada.

Di Tengah tradisi atau perspektif dalam mengukur derajat demokrasi (di Indonesia) melalui Pemilu, tulisan ini mencoba memahami demokrasi di Indonesia dengan menekankan pada aspek kelembagaan penyelenggara Pemilu terutama pada mekanisme pengawasan Pemilu.

Pengawasan Pemilu menjadi instrumen norma penting dalam Pemilu sebagai penegakan martabat demokrasi yang pada gilirannya mampu untuk merestrukturisasi perilaku sosial masyarakat untuk taat pada norma-norma hukum Pemilu.

Bila demokrasi didefinisikan sebagai 1) kontrol rakyat atas pemerintahan berdasarkan 2) kesetaraan politik, maka demokrasi di Indonesia membutuhkan perangkat penilaian untuk menjaga martabat demokrasi itu dan menilai derajat kontrol dari rakyat supaya efektif dan inklusif. Dengan kata lain, dibutuhkan adanya instrumen penilaian dan pengawasan untuk melihat seberapa jauh dua prinsip demokrasi ideal itu terlembagakan dalam Pemilu 2024.

Karena itu, prinsip-prinsip tersebut perlu diturunkan menjadi nilai perantara (mediating values) pelaksanaan demokrasi di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2024. Konkretisasinya menjadi dasar untuk menilai baik atau buruknya penyelenggaraan Pemilu 2024 bagi demokrasi itu sendiri.

Nilai perantara itu berupa partisipasi, otorisasi, representasi, akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas. Menurut Surbakti, Pemilu berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara periodik dan tertib.

Pemilu merupakan suatu pagelaran yang dilaksanakan oleh suatu negara yang mengakui dirinya adalah suatu negara yang demokratis. Dalam konsep hukum ketatanegaraan, hal ini dikenal sebagai asas kedaulatan rakyat. 

Untuk menilai penyelenggaraan Pemilu 2024, nilai perantara perlu direalisasikan oleh institusi yang mampu merealisasikan nilai-nilai tersebut.

Demokrasi dimulai...

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement